Ahad 24 Nov 2013 08:04 WIB

Menikah Dalam Kondisi Sekarat, Apa Hukumnya?

Menikah.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menikah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nashih Nashrullah

Kasus pernikahan dengan kondisi sekarat memang jarang terjadi. Tetapi, bahwa terdapat satu-dua pasangan sejoli yang memaksakan tetap menikah atas nama cinta pada detik-detik pasangannya sekarat, memang adalah fakta. Baik yang didera sakit tersebut pihak perempuan maupun calon mempelai laki-laki. Apa hukum menikahi pasangan yang tengah sekarat akibat sakit atau sebab tertentu?

Sebelum membahas panjang lebar perihal hukum persoalan di atas, Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati memberikan batasan dan ketentuan apa yang dimaksud dengan sekarat tersebut berdasarkan persepektif ulama mazhab. Dalam istilah fikih, dikenal dengan maradh al-maut.

Menurut Mazhab Hanafi, kriteria sakit parah atau sekarat itu, antara lain, yang bersangkutan tak lagi mampu melakukan tugas kesehariannya, dalam konteks perempuan, misalnya, sudah uzur dari mengurus urusan rumah. Sedangkan, untuk laki-laki, terhalang dari mencari nafkah.

Kriteria berikutnya, sakit tersebut tak kunjung sembuh dan dikhawatirkan meninggal, menurut kacamata kedokteran. Mazhab ini juga memberi batasan satu tahun untuk sakit tersebut. Bila lepas satu tahun sembuh, tidak termasuk sakit sekarat.

Dalam Mazhab Hanbali, hanya ada dua kriteria, yakni sakit yang didiagnosis akan meninggal dan keterikatan dengan kematian, seperti penyakit jantung akut, paru-paru, atau kanker yang mematikan. Mazhab ini menegaskan, vonis sakit tersebut harus berdasarkan diagnosis dokter. Ketentuan serupa juga berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i.

Berangkat dari pembatasan ini, Prof Zaidan melengkapi bahasan topik di atas dengan menguraikan pandangan masing-masing mazhab menyikapi hukum pernikahaan saat kondisi sedang sekarat atau sakit parah.

Mazhab Maliki berpandangan, akad nikah yang dilangsungkan ketika salah satu pasangan tengah menderita sakit akut dinyatakan tidak sah. Jika tetap dilaksanakan, harus dibatalkan. Ini dengan catatan selama yang bersangkutan dinyatakan tidak lagi sembuh.

Bila pada kemudian hari sembuh, menurut mazhab yang berafiliasi ke Imam Malik bin Anas ini, ketentuan pernikahan kembali ke hukum dasar, yakni boleh. Kemudian, jika salah satunya meninggal sebelum akad nikah dibatalkan, tidak berhak atas waris.

Sedangkan, Mazhab Hanafi berpendapat, boleh hukumnya melangsungkan pernikahan di saat salah satu calon pasangannya menderita sakit parah dengan mahar sepadan (mahar mitsil). Jika melebihi mahar tersebut, hukumnya tidak boleh.

Mazhab yang berafiliasi kepada Imam Abu Hanifah ini berargumentasi, pernikahan adalah kebutuhan asasi manusia yang tidak boleh dikekang. Seperti halnya kebutuhan akan makan dan minum. Tak satu pun berhak mencegah. Penegasan yang sama juga dikuatkan oleh para ulama yang bermazhab Hanbali.

Dalam pandangan mazhab yang merujuk pada metode ijtihad Ahmad bin Hanbal ini, nikah boleh dilangsungkan, baik ketika kondisi sehat maupun saat diterpa sakit. Akad yang dilaksanakan pun dianggap sah dan berimplikasi hukum, seperti waris. Mahar mitsil wajib dibayarkan dalam kasus ini dan tidak ada kaitannya dengan hak piutang ataupun ahli waris.

Sementara itu, Mazhab Syafi’i menyatakan, pernikahan yang dilaksanakan dalam kondisi sakit, hukumnya sah sekalipun kebutuhan biologis salah satu pasangan tidak bisa terpenuhi. Dalam kasus seperti ini, sang suami berkewajiban membayar mahar mitsil.

Di kalangan Mazhab az-Zaidiyah yang bercorak Syiah, pernikahan dalam kondisi sekarat hukumnya sah. Pernikahan adalah hak istimewa seseorang yang tak boleh diganggu gugat, sama halnya kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.

Berbeda dengan keempat mazhab di atas, mazhab ini tidak membatasi boleh tidaknya nikah tersebut dengan kewajiban membayar mahar mitsil. Jadi, pernikahan itu tetap sah dengan mahar apa pun, bahkan dengan mahar yang lebih dari mahar mitsilnya.

Nikah Ketika Sekarat Menurut Imam Mazhab:

1. Tidak sah dan wajib dibatalkan: Mazhab Maliki

2. Sah dan wajib membayar mahar mitsil: Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali

3. Sah dengan mahar apa pun: Mazhab Zaidi

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement