Kamis 28 Nov 2013 14:23 WIB

Rupiah Mendekati Rp 12 Ribu per Dolar AS, Ini Tanggapan Kemenko Perekonomian

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Petugas mengangkut uang rupiah di
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petugas mengangkut uang rupiah di "pooling cash" salah satu bank milik pemerintah di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan tren pelemahan sejak awal pekan ini. Pada perdagangan hari ini, Kamis (28/11), rupiah dibuka melemah di posisi Rp 11.885 per dolar AS atau lebih rendah 5 poin dibanding penutupan kemarin di posisi Rp 11.880 per dolar AS. 

Deputi I Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus menilai pelemahan rupiah akhir-akhir ini tak lepas dari isu pelaksanaan tapering off quantitative easing yang semakin kencang menjelang pertemuan The Federal Open Market Committe (FOMC) Desember mendatang.

"Namun belum semua indikator perekonomian AS mendukung pelaksanaan itu (tapering off quantitative easing) segera," ujar Bobby kepada ROL, Kamis (28/11). 

Dari sisi internal, Bobby menambahkan, pelemahan rupiah sejak awal pekan ini lebih disebabkan oleh tingginya kebutuhan dolar AS untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang korporasi dan kegiatan perjalanan ke luar negeri. Faktor lainnya adalah kekhawatiran pasar terhadap kondisi defisit neraca transaksi berjalan.

"Saya kira masih terkait dengan kemungkinan besar naiknya konsumsi BBM karena belum efektifnya program pengendalian BBM subsidi dan kenaikan pertamax (BBM nonsubsidi). Faktor ini yang dapat memperlambat upaya penurunan defisit transaksi berjalan," kata Bobby. 

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan triwulan III 2013 tercatat 8,4 miliar dolar AS. Angka ini memang lebih rendah dibandingkan triwulan II 2013 yang mencapai 9,8 miliar dolar AS (4,4 persen dari PDB). Sementara defisit transaksi berjalan triwulan I 2013 adalah 5,4 miliar dolar AS. Akan tetapi pada triwulan III 2013, defisit neraca perdagangan migas mengalami pelebaran.

"Ini tak lepas dari masih meningkatnya impor minyak pascakenaikan harga BBM bersubsidi Juni 2013. Defisit neraca perdagangan minyak melebar dari 5,3 miliar dolar AS menjadi 5,9 miliar dolar AS. Untungnya, defisit neraca migas tidak menjadi lebih buruk mengingat neraca perdagangan gas mengalami surplus 3,0 miliar dolar AS," papar Bobby.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement