REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas meminta pemerintah untuk konsisten dalam menerapkan asas Pancasila. Bila Indonesia merupakan negara yang berketuhanan, maka seluruh warganya harus memiliki identitas agama.
Dia mengatakan, kalau kolom agama di KTP elektronik dikosongkan, sama saja membuka peluang masyarakat melanggar Pancasila sebagai ideologi Indonesia. Bahkan, kalau sejumlah penganut ajaran kepercayaan lain tidak terfasilitasi di data kependudukan, maka aturan itu perlu ditinjau kembali.
"Harus dilihat, perlu ditambah atau tidak jumlah agama yang ada di Indonesia ini? Mereka dibebaskan memilih, tidak boleh ditahan," kata Yunahar pada Republika, Sabtu (14/13).
Dia mengatakan, bagaimana pun kolom agama harus diisi. Bahkan, dia tidak setuju kalau identitas tersebut dihilangkan dari elemen di eKTP.
Menurut dia, hal tersebut merupakan cara pandang sekuler di mana agama bukan lagi dianggap sebagai pertimbangan. Untuk para pengkhayat kepercayaan, mereka harus bercermin pada aliran dasar kepercayaan mereka.
Misal, ada suatu keyakinan yang bersumber dari Islam mau pun Hindu atau Budha. Maka harus dikembalikan lagi ke agama awalnya. "Kepercayaan itu kan cabang dari suatu agama. Untuk mengisi formulir kependudukan masyarakat harus melihat induk kepercayaannya tersebut," kata dia.
Yang pasti, kata Yunahar, kolom agama tidak boleh dikosongkan. Sebab, sebagai negara yang berlandaskan ketuhanan, kolom agama menjadi identitas yang wajib tercantum dalam kartu kependudukan masyarakat.
Tokoh agama, Romo Benny Susetyo mengatakan, enam agama yang ada di Indonesia ini adalah mayoritas. Kalau kepercayaan dan agama lain tidak mendapat pengakuan, sama saja membuka praktik diskriminasi. "Ini sama saja membuka sekat kembali antaragama," ujar Romo.
Pada penerapannya nanti, dia yakin, pemerintah akan sulit bersikap adil. Sebab, identitas tersebut menjadi penting untuk dicantum sebagai bentuk pengankuan. Menurut, hak sipil warga negara yang alirannya berbeda dengan kaum masyoritas, akan terhambat.