REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Konflik yang terus terjadi di Sudan Selatan, dikhawatirkan akan membuat anak-anak di negara termuda itu terisolasi. Ribuan anak telah terpisah dari keluarga mereka, akibat aksi kekerasan terbaru di Sudan Selatan.
Dilansir dari BBC News, kelompok Save the Children mengatakan banyak anak Sudan Selatan yang kini hidup sendiri di daerah yang sangat terpencil. Beberapa bahkan menyaksikan orangtuanya dibunuh dan rumah mereka dijarah atau dihancurkan. Konflik yang terus memanas selama dua pekan ini telah membuat 121 ribu warga Sudan Selatan meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi.
Menurut laporan Save the Children, banyak dari keluarga yang berpisah satu dengan lainnya. Kelompok tersebut mengatakan warga yang mengungsi berusaha mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsian PBB atau ke masyarakat setempat di daerah yang lebih aman. Beberapa lainnya, termasuk anak-anak ada yang bersembunyi di daerah rawa. Mereka bahkan terpaksa minum air yang tergenang.
Manajer Informasi dan Komunikasi Save the Children di Sudan Selatan Helen Mould mengatakan, dalam tiga hari mereka telah mendaftar 60 anak di pengungsian Juba yang terpisah dari keluarga mereka. "Sampai kita dapat akses ke daerah pertempuran yang paling sulit seperti Jonglei dan Upper Nile, sulit bagi kita untuk merespon dan mengetahui keadaan pasti," katanya pada acara Newsday BBC.
Konflik pecah antara Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan mantan Wakil Presidennya Riek Machar. Kiir menuduh Machar melakukan kudeta. Sementara Machar menuduh Kiir sebagai diktator. Kekerasan meluas menjadi konflik etnis, sebab Kiir didukung oleh suku Dinka tempatnya berasal dan Machar dari suku Neur.
Pemerintah Sudan Selatan telah menawarkan gencatan senjata. Namun tentara mengatakan pasukannya masih berjuang mengatasi pemberontak di ladang minyak di wilayah utara.