REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Fariduddin Attar dalam buku Tadzkiratul Awliya’ pernah bercerita tentang tobatnya seorang zahid dan tabiin bernama Malik bin Dinar al-Sami (wafat pada 130 H atau 748 M). Ia anak seorang budak Persia dari Sijistan (Kabul, Afganistan).
Namun, lelaki tampan ini berhasil membebaskan diri dari perbudakan dan menjadi seorang yang kaya raya. Malik hidup pada masa Bani Umayyah, tepatnya zaman Muawiyah di Damaskus. Saat itu, Muawiyah sedang membangun masjid agung yang anggarannya sangat besar.
Malik tertarik dan sangat ingin ditunjuk sebagai ketua takmir masjid itu. Keinginannya yang kuat mendorong dia menghamparkan sajadahnya di salah satu sudut masjid dan tampak khusyuk beribadah. Ia berharap, orang lain menganggapnya sebagai orang saleh.
Anehnya, pada malam hari ia meninggalkan masjid dan mencari hiburan di luar tanpa sepengetahuan orang-orang sekitar. Begitulah yang ia lakukan selama beberapa waktu lamanya.
Suatu malam, saat ia sedang menikmati alunan musik yang ia mainkan, tiba-tiba ia dikejutkan suara hatinya, “Malik, mengapa engkau tidak bertobat?” Mendengar suara hatinya, ia langsung menjatuhkan alat musiknya. Malik berlari ke sudut masjid yang biasa ia tempati.
“Setahun penuh aku telah menyembah Tuhan secara munafik. Tidakkah lebih baik aku beribadah dengan ikhlas? Aku malu. Aku tidak akan menerima tawaran menjadi ketua takmir masjid meski mereka menunjukku.”
Malam itu, Malik sudah tidak lagi beribadah seperti hari-hari sebelumnya. Keesokan harinya, melihat perlunya seorang ketua takmir yang akan mengurus kemakmuran masjid, para jamaah dan pejabat kota pun menghampiri Malik.
Kebetulan, Malik sedang shalat. Mereka menunggu dengan sabar. Saat Malik selesai shalat, mereka mengatakan, “Maaf mengganggu. Setelah bermusyawarah, kami sepakat menunjukmu sebagai ketua takmir masjid agung ini.”
Malik tertunduk, meneteskan air mata. “Ya Allah, aku beribadah kepadamu secara munafik sepanjang tahun dan tidak ada seorang pun yang memperhatikanku. Sekarang, ketika baru satu malam saja aku memberikan seluruh hatiku kepada-Mu dan memutuskan tidak menerima jabatan itu, Engkau mengutus 20 orang kepadaku untuk mengikatkan tugas itu di leherku. Demi keagungan-Mu, aku tidak menginginkannya.”
Pengalaman Malik bin Dinar ini menggambarkan tentang kegelisahan hati orang yang hanya mencari simpati manusia (riya) dan kebahagiaan saat berada dalam dekapan ridha Allah SWT (ikhlas). Jika boleh diibaratkan, ikhlas dan riya itu seperti antara pilihan akhirat dan dunia.
Bagaikan menanam padi di sawah, petani yang menanam padi akan mendapatkan pula rumput yang tumbuh di sekeliling padi. Tetapi, tidak ada ceritanya seseorang yang menanam rumput akan tumbuh pula padi di sekitarnya.
Padi yang ditanam adalah keikhlasan dan akhirat, sementara rumput yang tumbuh berserakan adalah riya dan dunia. Seseorang yang ikhlas akan memperoleh ridha Allah di akhirat dan sangat mungkin mendapatkan pujian dari manusia, meski ia tak menginginkannya.
Sebaliknya, seseorang yang berbuat riya tidak akan mendapatkan apa pun kecuali pandangan dan mungkin pujian atau simpati di dunia sekaligus mendapat murka dari Allah. Riya tidak jauh dari cara manusia menduakan atau menyekutukan-Nya.
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, Zat yang kamu bersedekah karena-Nya secara rahasia akan membalasmu secara terang-terangan di hadapan jutaan orang pada hari ketika tidak lagi berguna pujian manusia.”
Sebaliknya, Nabi mengingatkan, “Janganlah engkau bersedekah di hadapan khalayak karena bermaksud mencari pujian dari manusia. Bersedekahlah sehingga tangan kananmu yang memberi dan tangan kirimu tidak mengetahuinya.” (HR Bukhari).
Mencari perhatian, simpati, dan pujian manusia terlalu sering mengecewakan diri kita. Di samping tidak akan berguna bagi hidup kita di akhirat, juga terlalu kecil nilai kemanusiaan itu dibandingkan dengan rahmat dan ridha Allah. Mari kita tautkan hati dan kebaikan kita hanya kepada Allah. Wallahu a’lamu bi al-shawab.