REPUBLIKA.CO.ID, MANILA --Filipina pada Sabtu (18/1) menuding penguasa Cina yang telah menerapkan undang-undang bagi kapal nelayan asing memasuki sebagian besar Laut Cina Selatan, adalah bagian dari cara lama untuk mengklaim seluruh perairan itu.
Provinsi Hainan di bagian selatan Cina mengesahkan undang-undang itu pada November dan mulai berlaku tahun ini, sementara ketegangan naik terkait klaim tumpang-tindih atas perairan antara China, Filipina, Vietnam dan negara lain.
"Undang-undang tentang Perikanan yang diberlakukan Hainan merupakan salah satu dari langkah-langkah sepihak oleh China untuk memaksa perubahan dalam status quo regional demi memajukan posisi kedaulatan yang dipertikaikan dekat seluruh LCS (Laut China Selatan), kata juru bicara Departemen Luar Negeri Raul Hernandez dalam satu pernyataan.
Filipina terkunci dalam kebuntuan dengan Cina terkait dengan pulau-pulau karang dan pulau-pulau yang diperselisihkan Lau China Selatan, yang Manila sebut Laut Filipina Barat. Malaysia, Brunei, Vietnam dan Taiwan termasuk negara-negara yang mengklaim wilayah tumpang-tindih tersebut.
Menurut Hernandez, klaim Cina atas seluruh Laut Cina Selatan "merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional. "Inilah isu inti yang harus diatasi," kata dia, menyerukan Cina untuk menyepakati isu itu dibawa ke mahkamah arbitrase internasional.
"Kami mengulangi lagi undangan kami kepada Cina untuk bergabung dengan kami dalam arbitrase sementara kami berniat memproses dengan atau tanpa China untuk keputusan final," tambah dia.
Filipina menyatakan klaim teritorial Bejing yang digambarkan dengan "sembilan garis batas" atas sebagian besar perairan dan pulau-pulau dekat negara-negara tetangganya, ilegal.
Negara itu membawa kasus itu ke mahkamah tahun lalu berdasarkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) -- suatu traktat 1982 yang ditandatangani kedua negara -- tetapi China secepatnya membatalkan aksi itu.
Menteri Pertahanan Filipina Voltaire Gazmin mengatakan pekan ini bahwa para nelayan Filipina tidak akan mematuhi UU Provinsi Hainan itu. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah menyebut pemberlakuan UU itu merupakan langkah provokatif dan berpotensi membahayakan".