REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pemerintah merencanakan mulai tahun 2014 akan memberlakukan patokan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam satuan mata uang Rupiah, bukan lagi mengacu pada dolar AS atau Ringgit Malaysia seperti selama ini.
"Seperti produk timah yang sudah diperdagangkan dalam satuan Rupiah, maka CPO juga akan seperti itu pada tahun ini," kata Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan di Medan, Selasa (21/1).
Gita, salah satu calon Presiden Kovensi Partai Demokrat menilai langkah itu tidak menimbulkan masalah atau mengganggu mengingat Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia. "Sebagai produsen utama, kekuatan tawar Indonesia sudah sangat besar," ujarnya.
"Kalau memang butuh sawit Indonesia yah harus ikut aturan Indonesia," katanya.
Produksi CPO Indonesia pada 2014 ditargetkan bisa mencapai 29,5 juta ton, meningkat dari tahun lalu yang sekitar 26,2 juta ton. Dari jumlah produksi itu sebagian besar masih untuk ekspor karena selain permintaan banyak, kebutuhan domestik juga masih jauh di bawah produksi. Hingga kini India dan Cina masih jadi pembeli utama sawit Indonesia.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun mengatakan memang sudah seharusnya harga patokan CPO memakai Rupiah karena sebagai produsen terbesar. Produksi CPO Indonesia yang tahun ini diperkirakan bisa 29.5 juta ton hampir 50 persen dari kebutuhan dunia 2014 yang mencapai 58,3 juta ton.
Bahkan pasar dunia berharap pada 2020, produksi Indonesia mencapai 42 juta ton dari total produksi dunia 78 juta ton. "Sudah lama kita mengikuti keinginan pembeli. Jadi memang sudah saatnya untuk membuat patokan harga dengan Rupiah," katanya.
Dia memperhitungkan, kebijakan Pemerintah itu bisa menekan isu negatif komoditas tersebut dan termasuk bisa menjadi penentu harga jual di pasar sehingga otomatis harga tidak mengalami fluktuasi besar.