REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Fuji Pratiwi
Jilbab tak sekadar sepotong pakaian.
Nazma Khan mengaku hanya mencoba-coba. Tak ia sangka, gagasannya memperoleh sambutan dunia. Tanggal 1 Februari 2013 menjadi hari bersejarahnya. Ia menginisiasi gerakan Hari Hijab Dunia. Saat itu, ada puluhan ribu orang dari 50 negara berdiri di belakangnya.
Muslimah dari New York, AS, ini memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Pada 1 Februari 2014 lalu, peringatan Hari Hijab Dunia yang kedua dirayakan di 116 negara. Sekitar sejuta orang juga menyampaikan dukungannya.
Hari Hijab Dunia bermula dari pengalaman pahit Nazma saat mengenakan jilbab. Ia mengalami teror secara verbal maupun fisik. Ia tak ingin Muslimah berjilbab mendapatkan pengalaman sama, didiskriminasi dan menjadi target prasangka.
Nazma pindah dari Bangladesh ke AS saat berusia 11 tahun. Ia tumbuh di Bronx, New York. Karena kain yang melekat pada bagian kepalanya, ia terkena diskriminasi. Ia satu-satunya yang memakai jilbab saat belajar di sekolah menengah.
Teman-teman sekolah mencemoohnya, baik di dalam maupun di luar sekolah. “Mereka juga menendang saya dalam arti harfiah. Saya mendapatkan sejumlah julukan seperti Batman dan Ninja,” tutur Nazma. Awal masa kuliah pun merupakan masa yang berat baginya.
Saat itu, baru saja terjadi peristiwa pengeboman gedung kembar World Trade Center, 11 September 2001. Dari pengalaman inilah muncul sebuah ide. Satu-satunya jalan membangun empatik adalah mengajak non-Muslim mencoba berjilbab meski hanya sehari.
Lewat Hari Hijab Dunia, selain menegaskan jilbab adalah sebuah pilihan ia juga mengajak perempuan non-Muslim berjilbab. Harapan Nazma tak bertepuk sebelah tangan. Sejumlah perempuan non-Muslim tergerak mencoba jilbab.
Jess Rhodes (21 tahun) salah satunya. Ia menerima ajakan temannya dari Australia, Widyan al Ubudy, melalui akun Facebook-nya. Ia menyambar kesempatan yang disampaikan teman Muslimahnya itu sebagai bagian dari perayaan Hari Hijab Dunia.
Laman berita BBC melaporkan, meski non-Muslim, sudah lama Rhodes berharap bisa memakai busana itu. Bagi mahasiswi dari Norwich, Inggris, tersebut jilbab merupakan persoalan kesantunan berpakaian. “Orang tua saya semula bertanya apakah berjilbab ide yang baik?”
Rhodes mampu meyakinkan orang tuanya dan menyatakan ia akan baik-baik saja saat berjilbab. Sebulan ia menggunakan jilbab. Selain itu, Esther Dale (28), penganut Mormon dari Kalifornia, AS, mengambil langkah yang sama. Ia sadar stigma negatif terhadap orang berjilbab. Tapi, ia mengabaikannya.
Ia berpikir, ini kesempatan baginya membantu menghapus stigma tersebut. Dalam pemahamannya, jilbab itu tentang perilaku santun. Jadi, bukan sekadar sepotong pakaian. “Jelas asumsi yang salah kalau mengatakan perempuan memakai jilbab karena dipaksa.”
Kathryn Van Gompel (51), perempuan Kristen asal Arizona, AS, tak mau melewatkan kesempatan. Setelah mencoba berjilbab, ia merasa ketagihan. Bahkan, ia menggunakan pakaian Muslimah itu selama enam bulan.
Ia mengaku banyak menuai pujian. “Jika orang bertanya mengapa saya menggunakan jilbab, saya katakan ingin menjadi orang yang lebih santun.” Ia juga menunjukkan fakta, ratusan tahun lalu perempuan Yahudi dan Kristen berpakaian seperti Muslimah sekarang ini.
Simpatik non-Muslim terhadap perempuan berjilbab tak sebatas terlihat di Hari Hijab Dunia. Pada 19 Agustus 2013 perempuan di Swedia memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan untuk para Muslimah.
Dengan menggunakan hashtag #hijabuppropet (hijab outcry) mereka mengunggah foto-fotonya yang terbalut hijab. Di antara mereka ada anggota parlemen, seperti Asa Romson dari Partai Hijau dan Veronica Palm dari Sosial Demokrat.
Ada pula komedian dan pembawa acara di televisi, Gina Dirawi. Gerakan ini dipicu insiden pada 17 Agustus 2013. Waktu itu, Muslimah berjilbab yang sedang mengandung diserang. Jilbabnya dikoyak. Peristiwa terjadi di Farsta, pinggiran Stockholm.
Pelaku penyerangan juga membenturkan kepala korban ke sebuah mobil. Korban kemudian dilarikan ke rumah sakit. Perempuan yang melakukan aksi solidaritas ingin mengingatkan adanya diskriminasi terhadap Muslimah di Swedia.
“Sudah cukup kuat alasan bagi perdana menteri dan politikus bergerak menghentikan fasisme,” tulis mereka di surat kabar Aftonbladet, seperti dikutip laman berita BBC. Apalagi, kini kejahatan karena kebencian terhadap Muslim meningkat.
Mereka mendesak pemerintah mampu menjamin hak serta kebebasan perempuan Muslim menjalankan ajaran agamanya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mencegah kejadian serupa terulang. Jadi, tak lagi terjadi serangan verbal terhadap Muslimah berjilbab.
“Kami ingin para perempuan Swedia mengenakan hijab sehari. Sebab, kami menghendaki berjilbab menjadi sesuatu yang normal di negara ini,” kata Bilal Osman, salah satu inisiator gerakan solidaritas hijab kepada harian Swedia, Goteborg.
Selama ini, banyak orang memandang hijab dan Muslim sebagai sesuatu yang sangat asing. Gerakan pada 19 Agustus itu merupakan kesempatan baik untuk memahami apa yang Muslimah rasakan dan alami.
Gerakan yang diikuti perempuan dari berbagai latar belakang dan keyakinan tersebut memperoleh respons positif pemerintah. Menteri Kehakiman Beatrice Ask menegaskan, serangan terhadap Muslimah harus ditangani serius.
Solidaritas terhadap perempuan berjilbab juga dilakukan dua profesor di Montreal, Kanada, pada November tahun lalu. Mereka adalah Nora Jaffary, profesor sejarah di Concordia University, dan Catherine Lu, profesor ilmu politik dari McGill University.
Mereka menentang rancangan undang-undang yang melarang simbol agama di tempat umum. Jilbab bakal menjadi korban dari rancangan ini. “Saya memakai jilbab sebagai solidaritas,” kata Jaffary kepada CBC.