Oleh: Afriza Hanifa
Amen dalam bukunya menuliskan, ketika Cheng Ho mengunjungi kawasan Semarang, keadaan kawasan di sekitar daerah tempat ia mendarat tidak begitu berbeda dengan keadaan pada pertengahan abad ke-15.
Walaupun demikian, Cheng Ho tetap mengunjungi kawasan itu. Mengingat keadaan kawasan Semarang pada masa itu, menurut Amen, kedatangan Cheng Ho tentunya tidak dengan niat untuk memenuhi maksud utama dari misi-misi muhibahnya, sebagaimana tersurat dalam sejarah Dinasti Ming.
“Justru kedatangannya dengan maksud lain, yakni untuk memenuhi kepentingan-kepentingan komersial yang telah disandang oleh misi-misi muhibah yang dipimpinnya,” kata Amen.
Amen mengutip pendapat Prof Duyvendak yang menceritakan jatuhnya pemerintahan Mongol telah mengakhiri hubungan antara Cina dan negeri-negeri yang berada di sebelah barat dan seberang lautan.
Akibatnya, beragam hasil produksi berharga yang sebelumnya diperoleh melalui para pedagang Arab dan Persia tidak lagi diperoleh. Sedangkan Harem-harem di istana kaisar sangat membutuhkan wewangian, manik-manik, dan ratna mutu manikam.
Kepada orang sida-sida seperti Cheng Ho, mereka menitipkan pesanan untuk mendapatkannya di pasar-pasar mancanegara.
“Saya menyimpulkan kedatangan Cheng Ho ke kawasan Semarang kemungkinan besar justru untuk mencari barang-barang titipan dari para harem yang bersemayam di istana kaisar Tiongkok,” ujar Amen.
“Jadi, tidak dengan maksud untuk mencari dan menangkap kembali bekas kaisar Tiongkok Chu Yun-wen alias Hwui Ti. Tidak pula dengan maksud untuk memamerkan kekayaan serta kekuatan kerajaan Tiongkok.”
Perahu Jonk
Diceritakan oleh Jonki Tio, dahulu orang-orang Cina datang naik kapal-kapal layar besar yang disebut perahu Jonk atau Wakang Tjoen dan mendarat di daerah Mangkang.
Kapal-kapal itu berlabuh untuk berdagang ataupun membawa penumpang-penumpang yang akan menetap di kawasan tersebut. Oleh karena itu, penduduk kemudian menyebut daerah itu Wakang, yang kemudian menjadi Mangkang hingga sekarang.
Di dekat Mangkang, terdapat Ngaliyan. Asal nama Ngaliyan diceritakan berasal dari nama seorang pemuda Cina bernama Na Lie Ang dari Gedong Batu. Dia hendak berguru kepada Ki Dapu di Boja.
Dalam perjalanannya, Na Lie Ang mengalami beragam kejadian dan akhirnya meninggal dunia. Ia kemudian dimakamkan di daerah yang kini dikenal dengan Ngaliyan.
Menurut Jonki Tio, banyak warga Cina ke pedalaman dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membuka pemukiman baru, seperti Kranggan, Damaran, dan Petudungan. Sementara itu, dusun-dusun baru juga bermunculan di sekitarnya, seperti Pandean, Jeruk Kingkit, Ambengan, dan lain-lain.
“Daerah Pekojan saat itu merupakan pekuburan warga Tionghoa. Daerah sekitar dan sepanjang Kali Semarang saat itu juga masih hutan dan tegalan. Sekitarnya ada dusun-dusun permukiman Tionghoa, seperti Gang Besen, Gang Tengah, Gang Gambiran, dan lain-lain,” kata Jongki.