REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Anakku.. Anakku.. Apa yang harus saya lakukan?’’ keluh seorang wanita saat ia diboyong keluarganya ke ruang konferensi hotel di distrik Lido, Cina. Wanita tua itu adalah salah satu dari puluhan anggota keluarga penumpang Boeing 777-200ER yang raib di udara, Sabtu (8/3) dini hari lalu. Hanya keluh kesah, argumen, perdebatan hingga selentingan isak tangis yang terdengar dari kerumuman keluarga ini.
Pengawas lalu lintas di Subang, di luar Kuala Lumpur Malaysia mengabarkan kehilangan kontak dengan pesawat berisi 239 penumpang itu pada pukul 01.30 dini hari waktu setempat. Sebelumnya awak kapal sama sekali tidak mengindikasikan ada sesuatu yang tidak aman yang mungkin saja terjadi.
Ketidakjelasan menyelimuti hilangnya pesawat yang dinilai sebagai salah satu pesawat paling aman ini. Adanya indikasi terorisme menambah pelik suasana. Keluarga penumpang pun tenggelam dalam kekhawatiran.
Menurut daftar, sebagian besar penumpang adalah orang-orang Cina. Yang lainnya beragam, yaitu dari Indonesia, Australia, Amerika Serikat, Prancis, Ukraina, Kanada, Rusia dan Belanda. Dikutip dari CNN, mereka adalah satu delegasi pelukis dan penulis kaligrafi, sekelompok umat Budha yang baru saja kembali dari pertemuan agama di Kuala Lumpur, keluarga tiga generasi, Sembilan wisatawan senior dan lima balita.
Salah satu perusahaan berbasis di Texas, Freescale Semiconductor juga mengumumkan bahwa 20 karyawannya berada dalam pesawat nahas itu. Gregg Lowe, CEO Freescale Semiconductor mengatakan dua belas karyawan dari Malaysia dan delapan dari Cina.
‘’Saat ini kamu hanya berfokus pada karyawan dan keluarga mereka,’’ kata dia. ‘’Pikiran dan doa kami selalu bersama mereka yang terkena dampak tragis ini,’’ lanjutnya.
Sementara, media pemerintah Cina melaporkan tepatnya ada 154 warga Cina yang ada dalam pesawat. Termasuk kelompok pelukis dan penulis kaligrafi dan umat Budha yang baru pulang dari pertemuan Agama. ‘’Kerabat dari mereka berkumpul dalam satu tempat di hotel,’’ tertulis dalam laporan.
Media tidak dapat mengakses mereka. Sebagian besar keluarga pun menolak untuk berbicara dengan wartawan. Isu terorisme begitu kental digaungkan menambah kisruh keadaan keluarga para penumpang.
Sabtu waktu setempat, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Italia, Aldo Amati mengatakan warga negara Italia yang tercantum dalam daftar pesawat tidak menaiki pesawat itu. Ia mengatakan passport milik warganya atas nama Luigi Maraldi itu hilang karena dicari beberapa tahun lalu.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Austria Martin Weiss mengatakan seorang pria Austria yang terdaftar di manifes maskapai itu juga tidak naik dalam pesawat. ‘’Paspor warga Austria atas nama Christian Kozel itu dicuri dua tahun lalu,’’ katanya.
Sementara, warga negara AS yang ada dalam daftar pesawat itu diidentifikasi dengan nama Philip Wood (51), Nicole Meng (4) dan Yan Zhang (2). ‘’Kami sangat berbelasungkawa untuk orang terkasih dari yang berada dalam Malaysia Airlines,’’ kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jen Psaki.
Di antara mereka adalah Philip Wood lulusan dari Universitas Kristen Oklahoma tahun 1985. Seorang juru bicara dari universitas tersebut, Risa Forrester mengatakan Wood meraih gelar sarjana dalam bidang matematika dan ilmu komputer. Pria yang memiliki organisasi jasa Delta Gamma Sigma ini dikenal sebagai pria yang lembut, baik hati, memiliki rasa yang besar dalam musik dan seorang seniman yang indah.
‘’Philip Wood adalah orang yang sangat dekat dengan Tuhan, ia sangat terhormat dan berintegritas. Kata-katanya adalah emas,’’ kata keluarganya dalam sebuah pernyataan. ‘’Meskipun hati kita terluka, kita tahu begitu banyak keluarga di seluruh dunia yang juga juga mengalami tragedy yang sama,’’ tambahnya.
Setelah lebih dari 30 jam tanpa kontak dengan pesawat, Malaysia Airlines menguatkan keluarga para penumpang. Hugh Dunleavy, direktur komersial Malaysia Airlines mengatakan kepada anggota keluarga mereka harus "mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk’’.