REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membanjirnya produk-produk impor dengan harga murah, dipastikan semakin menekan pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha di dalam negeri. Pemerintah diminta untuk segera memberlakukan sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi sektor perdagangan.
Langkah itu ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap produk-produk dalam negeri. Hal ini dikatakan Ketua Bidang Perdagangan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Hardini Puspasari dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (17/3). "HIPPI mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan sertifikasi SNI bagi produk-produk dalam negeri," kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga November 2013 pemerintah mengimpor bahan pokok sebanyak 17 juta ton senilai Rp 105 triliun. Padahal, sebagian besar impor tersebut merupakan bahan pokok yang bisa diproduksi oleh pengusaha dalam negeri, seperti beras, kentang, jagung, cengkeh, kopi, teh, garam, dan cabai.
"Namun rupanya, pemerintah lebih memilih untuk mengimpor-nya. Bayangkan jika dana sebesar itu bisa diputar di dalam negeri melalui usaha anggota HIPPI, multiplier effects-nya pasti sangat signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Hardini.
Saat ini, kata Hardini, HIPPI berkekuatan empat juta anggota dan merupakan organisasi yang mewadahi pengusaha pribumi Indonesia, memiliki perwakilan di 33 provinsi yang ada di seluruh indonesia. Sebagian besar anggota HIPPI bergerak pada skala UKM sebagai pilar utama ekonomi bangsa. Sebagai organisasi yang mengusung ekonomi kebangsaan, HIPPI dalam berbagai aktivitasnya senantiasa memperjuangkan agar produk Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mampu menembus pasar luar negeri.