Kamis 20 Mar 2014 10:04 WIB

Putin Abaikan Protes Barat

Russia's President Vladimir Putin (file photo)
Foto: Reuters/Aleksey Nikolsky/Ria Novosti
Russia's President Vladimir Putin (file photo)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alicia Saqina, Dessy Suciati Putri

MOSKOW -- Dua hari setelah pelaksanaan referendum di Crimea, Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani traktat yang mengesahkan Crimea menjadi bagian dari Rusia. Putin mengabaikan protes Pemerintah Ukraina dan sanksi dari Barat.

“Di hati dan pikiran rakyat, Crimea selalu menjadi dan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Rusia,” kata Putin, Selasa (18/3). Penandatanganan traktat dilakukan Putin dan sejumlah pemimpin Crimea di hadapan parlemen Rusia di Kremlin.

Pidato Putin yang menyebut sanksi dari Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai hipokrisi sempat diinterupsi gemuruh tepuk tangan anggota parlemen selama 30 menit. Rekan Barat telah melampaui batas dan bersikap tidak bertanggung jawab,” ujar Putin.

Hasil referendum, kata Putin, merupakan cerminan kenginan yang kuat dari rakyat Crimea untuk kembali ke Rusia setelah 60 tahun menjadi bagian dari Republik Ukraina.

Putin berterima kasih kepada Cina atas dukungannya, meski Beijing bersikap abstain saat pengambilan keputusan resolusi pembatalan referendum Crimea yang kemudian diveto Rusia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Putin menegaskan tidak akan mencari wilayah lain di Ukraina. Kekhawatiran memang muncul di Kiev bahwa setelah Crimea, Rusia melancarkan gerakan lain di wilayah Ukraina. “Jangan percaya kepada mereka yang manakut-nakutimu wilayah lain akan mengikuti jejak Crimea,” kata Putin.

Uni Eropa dan Amerika Serikat tetap menilai referendum di Crimea sebagai suatu kegiatan ilegal. Atas pelaksanaan referendum itu, Uni Eropa memberlakukan sanksi kepada 21 pejabat Rusia dan Ukraina.

Uni Eropa dan Amerika Serikat menerbitkan daftar terpisah atas beberapa sanksi yang dijatuhkan kepada kedua negara.

Dua sanksi utama yang diberikan kepada Rusia dan Ukraina, di antaranya, pelarangan perjalanan dan pembekuan aset para pejabat pemerintahan kedua negara. Pembekuan aset itu turut diberlakukan bagi anggota parlemen Rusia dan Ukraina.

Pemerintah Inggris menghentikan untuk sementara perjanjian militer kedua negara meski mengklaim langkah itu bukanlah respons atas penandatangan traktat kembalinya Crimea ke Rusia.

Menteri Luar Negeri Inggris Willam Hague menyatakan, pihaknya merespons langkah Rusia yang menguasai Crimea lewat serangkaian pendudukan militer.

Hague memerinci, penghentian kerja sama meliputi pembatalan latihan angkatan laut bersama antara Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan AS serta pembatalan kunjungan kapal laut Inggris Raya ke Saint Petersburg.

Hague juga menyatakan, Inggris akan mendorong kemungkinan paket sanksi terberat untuk Rusia yang bisa disetujui Uni Eropa saat para pemimpin Eropa bertemu pada pekan ini.

Mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev membela langkah pengambilalihan Crimea. Gorbachev menilai, kembalinya Crimea ke Rusia telah mengoreksi kesalahan sejarah ketika Soviet melepas wilayah itu ke Ukraina.

“Dulu Crimea bergabung dengan Ukraina berdasarkan hukum Soviet yang komunis tanpa bertanya kepada rakyat. Sekarang, rakyat sendiri telah memutuskan untuk mengoreksi sejarah yang salah itu,” kata Gobarchev, dilansir Interfax.

Menurut Gorbachev, hasil referendum Crimea seharusnya dirayakan, bukan malah ditandai dengan penerapan sanksi oleh Barat kepada Rusia.

Tindakan AS dan Uni Eropa terhadap Rusia, kata Gorbachev, tidak akan berpengaruh banyak. Sanksi Barat hanya makin membuktikan ada masalah serius di Ukraina.

n reuters

sumber : reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement