REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Anggota DPR RI Komisi VIII meminta asosiasi penyelenggaraan umrah agar segera membuat nota kesepahaman atau MOU (memorandum of understanding) dengan maskapai penerbangan yang memberangkatkan jamaah umrah. Perjanjian ini dinilai penting sebagai bagian dari tanggung jawab bersama bila ada penyelenggaraan penerbangan tidak sesuai perjanjian.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengatakan pihak asosiasi haji sebagai wadah travel umrah atau penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) harus memulai perjanjian ini dengan pihak maskapai penerbangan umrah. Menurut dia MoU ini penting agar tidak ada yang selalu dirugikan apabila ada penerbangan umrah yang terlambat penundaan, apalagi pembatalan penerbangan.
"Seringkali pihak travel atau PPIU dirugikan karena masalah penundaan atau pembatalan penerbangan, karena itu MoU ini penting agar kerugian bisa ditanggung oleh kedua belah pihak," ujarnya kepada Republika, Senin (24/3).
Karenanya ia berharap pihak asosiasi umrah bisa melakukan penekanan dan membereskan semua permasalahan terkait penerbangan umrah yang berkaitan dengan maskapai umrah. Ledia memandang apabila tidak ada kerjasama dalam bentuk nota kesepahaman seperti itu, maka sangat susah bagi travel umrah untuk menuntut kerugian kepada pihak maskapai.
Langkah ini penting karena, terlebih kasus penelantaran jamaah oleh pihak maskapai ini telah terjadi berkali-kali. "Saya rasa pihak asosiasi harus bersatu untuk menekan pihak maskapai, karena calon jamaah umrah jumlahnya terus meningkat," kata Anggota DPR Fraksi PKS ini.
Bila ada maskapai yang tidak ingin menandatangani nota kesepahaman, ia menegaskan maka asosiasi harus ada upaya menekan mereka. Dalam perjanian itu, terang dia, harus jelas bila jamaah tertunda atau tidak jadi berangkat, apa keputusan final kompensasi yang diberikan. Apakah akan tetap mengupayakan berangkat atau siap menerima kerugian bersama, dari akomodasi di Saudi Arabia oleh pihak penerbangan.