Jumat 28 Mar 2014 17:18 WIB

KH Mohammad Mansyur, Ulama Cerdas Pahlawan Jakarta (2-habis)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Sebelumnya, masyarakat setempat menggunakan metode melihat bulan (rukyat) dan penghulu menentukan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah. Beduk di masjid pun akan dipukul bertalu-talu sebagai penanda bahwa Ramadhan atau Syawal tiba.

Menurut KH Mohammad Mansyur, cara ini memiliki banyak kekurangan. Selain terlalu mendadak, sering kali ia melihat banyak kalangan masyarakat tak mendengar suara beduk dan tidak tahu bahwa bulan telah berganti. Akibatnya, mereka ini sering merayakan Idul Fitri pada hari yang berbeda dengan yang lain.

 

Inilah yang membuatnya mempelajari lebih dalam tentang ilmu hisab. Selain bisa memprediksi datangnya bulan Hijriyah lebih awal, juga bisa menyeragamkan awal Ramadhan dan Idul Fitri pada semua masyarakat.

Ini adalah harapannya dari dulu. Ketika ia menjabat sebagai penghulu, ia pun selalu mengumumkan lebih awal agar kabar awal bulan Hijriyah yang telah ditentukan bisa tidak terlambat disebarkan.

Selain mengenalkan cara baru menentukan awal bulan Hijriyah, ia juga banyak menelurkan karya yang dijadikan pedoman oleh ulama-ulama lain hingga sekarang. Di antaranya, kitab Sullamun Nayyiroin, Khulasatul Jawadil, Mizanul I'tidal, Jadwal Dawaa'irul Falakiyah, Majmu' Arba' Rasa'il Fii Mas'alatil Hilal, Rub'ul Mujayyab, Mukhtashor Ijtima'un Nayyiroin, dan Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf.

Mohammad Mansyur juga dikenal sebagai pejuang yang berani. Sebagai ulama, ia juga langsung turun langsung menghadapi penjajah. Momen yang paling tidak terlupakan  pada 1946 saat Belanda datang kembali untuk menduduki Indonesia.

Mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu adalah harga mati sehingga ia tetap bersikukuh untuk mengibarkan bendera merah putih di menara masjid di Jembatan Lima.

Saat itu, Belanda menyuruhnya untuk menurunkan bendera, namun ditolaknya mentah-mentah. Pendiriannya tetap tidak berubah meski tentara Belanda menembaki menara masjid bahkan memberikan sogokan hadiah kepadanya.

Ia wafat pada 12 Mei 1967. Meski raganya telah tiada, jiwa dan semangatnya tetap berkobar hingga kini. Pesan dan nasihatnya pun tetap diingat oleh masyarakat Betawi, salah satunya adalah “Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement