Rabu 02 Apr 2014 23:11 WIB

Pemberontak Libya Setuju Akhiri Blokade Pelabuhan Minyak

Rep: Alicia Saqina/ Red: Bilal Ramadhan
Peta Benghazi, Libya.
Foto: Aljazeera
Peta Benghazi, Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemimpin kelompok pemberontak di Libya Timur telah setuju untuk mengakhiri pendudukan sejumlah pelabuhan pengekspor minyak, dalam beberapa hari. Pelepasan blokade pelabuhan-pelabuhan pengekspor minyak itu ditujukan untuk meningkatkan harapan, demi mengakhiri kebuntuan selama setahun kurang ke belakang ini dengan pemerintah Libya.

 

Dikutip dari Aljazirah, Rabu (2/4), pemimpin kelompok pemberontak itu, Ibrahim Jathran, kepada stasiun televisi yang mendukung pergerakan kelompok tersebut mengatakan, pihaknya kini sudah memiliki solusi yang menguntungkan. Bahkan, ia mengklaim hasil positif yang diperoleh atas kesepakatan itu akan berdampak kepada seluruh warga Cyrenaica. Begitu sebutan bersejarah bagi wilayah Libya Timur itu.

 

''Perjanjian ini akan mengecewakan semua orang yang tak menginginkan kebaikan bagi Libya. Tetapi, kesepakatan ini akan menyenangkan seluruh warga yang berpikiran nasionalis sebagai warga Libya. Itu penting bagi kami. Itu lah yang kami perjuangkan,'' kata Jathran.

 

Di saat yang tak berjauhan, menyatakan diri sebagai perdana menteri dari kelompok pemberontak, Abb-Rabbo al-Barassi kepada kantor berita //Reuters// mengatakan, permasalahan pembebasan penyitaan pelabuhan minyak itu akan segera terselesaikan. ''Masalah ini akan diselesaikan dalam beberapa hari. Kami berdialog dengan pemerintah di Tripoli atas segala persoalan,'' kata dia.

 

Al-Barassi pun menjelaskan, diharapkan dalam waktu dua hari, delegasi pemerintah bisa mengunjungi basis markas kelompok Ajdabiya di Libya Timur, untuk menuntaskan kesepakatan.

 

Akan tetapi terkait pernyataan para kelompok pemberontak itu, pemerintah Libya hingga saat ini masih belum memberikan keterangannya. Padahal, sebelumnya antara pemberontak dengan pemerintah di Tripoli pernah mencapai kesepakatan, terkait pelepasan tiga orang sandera di kapal al-Sidra, Agustus lalu. Kala itu, tiga pejuang yang disandera pemberontak, diketahui tengah menaiki tanker al-Sidra.

 

Sebelumnya, untuk menekan otonomi, pemberontak memulai pergerakannya dengan merebut pelabuhan pengekspor minyak. Dalam sehari, dihitung, pelabuhan-pelabuhan tersebut mampu mengekspor lebih dari 600 ribu barel minyak. Aksi penyitaan pelabuhan minyak itu dilakukan untuk mendorong pemerintah Libya, agar mengambil sikap terkait adanya tindak korupsi minyak.

 

Namun, upaya pembicaraan antara pemerintah Libya dengan para pemberontak di wilayah timur Libya ini dilaporkan memang mengalami kemajuan. Terutama setelah angkatan laut Amerika Serikat (AS) menangkap kapal tanker yang telah dimuat minyak di pelabuhan pemberontak.

Sayangnya, peristiwa penggagalan oleh AL AS itu rupanya telah menghancurkan harapan para pemimpin pemberontak untuk menjual minyak mentah tersebut melewati Tripoli. Langkah AS itu pun telah menggagalkan upaya penekanan pemberontak kepada pemerintah, untuk menyetujui kesepakatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement