Jumat 04 Apr 2014 15:44 WIB

Melacak Jejak Kesultanan Pajang (2)

Masjid  Ki Ageng Henis Laweyan peninggalan Kesultanan Pajang.
Foto: Laweyan.org
Masjid Ki Ageng Henis Laweyan peninggalan Kesultanan Pajang.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih     

Dinasti besar kerajaan Jawa, yaitu Majapahit, Demak, dan Mataram. Ketiganya bertemu di antara silsilah Keraton Pajang.

Pada diri Sultan Hadiwijaya yang menjadi raja Pajang pertama mengalir darah Majapahit dan Demak. Sebelum menjadi raja, dia bernama Jaka Tingkir yang suka melakukan latihan meditasi dan refleksi untuk memperkuat kekuatan fisik dan mentalnya.

Dari segi spiritual, Jaka Tingkir telah memperoleh kepribadian yang unggul serta ilmunya yang tinggi karena belajar langsung dari salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga.

Meski terdapat kesimpangsiuran informasi, ditambah lagi masyarakat Jawa sendiri banyak membumbuinya dengan cerita mistis dan takhayul, membuat sejarah awal pendirian Kerajaan Pajang ini kurang begitu jelas.

Laman resmi Rumah Budaya Tembi menuliskan, Kesultanan Pajang adalah keraton yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya yang pada masa mudanya bernama Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Mas Karebet adalah putra Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga).

Ia dinamakan Mas Karebet karena ketika ia lahir, di rumahnya sedang diselenggarakan pementasan wayang beber oleh sahabatnya yang bernama Ki Ageng Tingkir. Wayang beber yang materi pokoknya berupa gulungan kain bergambar adegan dalam dunia pewayangan itu dalam istilah lain sering disebut juga sebagai krebet.

Sepulang dari mendalang di rumah Ki Ageng Pengging ini, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit, kemudian meninggal. Selang beberapa saat, Ki Ageng Pengging dihukum mati oleh Demak karena ia dianggap akan melakukan pemberontakan. Setelah peristiwa itu, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan menyusul kematian suaminya.

Mas Karebet yang masih kanak-kanak diambil sebagai anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir. Mas Karebet kemudian dikenal juga sebagai Jaka Tingkir. “Karier politik Jaka Tingkir diawali dengan pengabdiannya ke Kesultanan Demak setelah sebelumnya ia berguru kepada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela,” tulis laman tersebut.

Di tempat ini pula Jaka Tingkir dipersaudarakan dengan cucu-cucu Ki Ageng Sela, yakni Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, dan Ki Ageng Pemanahan. Kehadiran Jaka Tingkir di Demak segera menarik perhatian karena ia terlihat menonjol dalam bidang kekuatan fisik dan agama.

Ia bahkan mampu menaklukkan seekor kerbau yang mengamuk di tengah kerumunan orang-orang. Raja Demak, Sultan Trenggana, pun kemudian mengangkatnya sebagai salah satu pimpinan prajurit.

Jaka Tingkir bahkan diangkat menjadi menantu Sultan Trenggana. Ia dikawinkan dengan salah satu putri Sultan Trenggana bernama Ayu Pembayun.

Setelah Sultan Trenggana wafat, ia ditampuk menjadi pimpinan Demak. Jaka Tingkir naik takhta dan bergelar Sultan Hadiwijaya.

Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Demak menuju ke daerah Pajang. Ia juga mengubah haluan kerajaan yang tadinya bersifat maritim karena berada di pesisir menjadi kerajaan agraris.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement