Oleh: Ani Nursalikah
Kelompok bahasa sama beragam dan tumpang tindih dengan komunitas agama. Di Semenenajung Balkan, mereka yang berbicara Slavonic, Yunani, dan Albania menjadi mayoritas.
Terdapat juga minoritas Turki yang berbicara romansa Vlach. Di Anatolia bahasa Turki adalah bahasa mayoritas, tetapi daerah ini juga menjadi daerah untuk bahasa Yunani dan Armenia. Di timur dan tenggara, mereka menggunakan bahasa Kurdi.
Di Suriah, Irak, Arabia, Mesir, dan Afrika Utara sebagian besar populasi berbicara dengan dialek Arab dengan bahasa Turki tingkat tinggi. Namun, tidak ada provinsi manapun yang menjadi bagian Kerajaan Ottoman yang mempunyai bahasa sendiri. Bahasa Turki adalah bahasa pemerintahan dan lingua franca kaum elite.
Struktur sosial kerajaan juga bervariasi. Ekonomi Kerajaan Ottoman berlimpah dari sektor agrikulturual. Kejayaan sultan, seperti yang sering ditekankan penulis politik, bersandar pada kerja keras para petani.
Jenis agrikultural dan peternakan yang berkembang, sebagaimana struktur sosial desa-desa dan rumah tangga petaninya, bervariasi dengan tradisi yang berbeda-beda. Begitu juga dengan variasi dalam iklim dan tanah daerahnya.
Berlawanan dengan para petaninya, sebagian populasi kerajaan hidup secara seminomaden dengan menggembala ternak. Sering kali dengan jumlah penduduk dan pemerintah yang ganjil.
Di antara kelompok ini terdapat suku Badui dari padang pasir Arab, Suriah, Mesir, bangsa Vlach dari Semenanjung Balkan, dan suku-suku berbahasa Turki dari Anatolia, Suriah Utara, dan barat daya Eropa.
Pada pertengahan abad ke-17, elite politik dan militer cenderung berasal dari garis keturunan Albania atau Kaukasia. Umumnya, berasal dari Georgia, Abkhazia, atau Kirkassia. Tokoh agamis atau berlatar belakang hukum yang menjadi staf di sekolah tinggi agama, pengadilan umum, dan masjid cenderung dari bangsa Turki.
Sedangkan, di Balkan bagian barat, Bosnia, atau di provinsi yang berbahasa Arab adalah dari bangsa Arab. Secara singkat, Kerajaan Ottoman merupakan kerajaan multinasional.