Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Sesampainya di kediaman Abbad, Abu Hanifah meletakkan bungkusan beserta surat tersebut tepat di depan rumah.
Sang pemalas pun melihatnya, ia kemudian mengambil bungkusan tersebut dan bergembira bahwa skenario mengemisnya tadi berhasil. Surat tersebut dibacanya, tapi tak diperhatikannya lebih lanjut. Dibuang begitu saja.
Waktu pun berjalan. Suatu hari Abu Hanifah lewat lagi di rumah Abbad. Ia mengira Abbad telah bertobat, tapi ternyata dugaannya salah. Ia masih tetap mendengarkan skenario keluhan sang pemalas tersebut.
Abu Hanifah tak menyerah. Ia merasa sosoknya sebagai imam yang pandai berdakwah pun diuji. Menurutnya, ini adalah ujian baginya. Berdakwah di jalan Allah SWT memang terkadang tak mudah.
Sang Imam pun kembali ke rumahnya dan melakukan hal yang sama, menyiapkan uang, makanan, dan sepucuk surat bagi sang pemalas tersebut.
Kali ini, ia membuat surat yang lebih panjang. Tujuannya agar hati Abbad tersentuh dan bertobat. Ia kemudian meletakkan bungkusan tersebut di jendela rumah Abbad.
Dengan gembira Abbad pun mengambil bungkusan tersebut. Makanan dan uang. Selembar surat tersebut dipegangnya, kemudian dibacanya.
“Kawan, janganlah memohon seperti itu. Bukan begitu cara berikhtiar dan berusaha. Memohon seperti ini setiap hari, itu berarti Anda malas, berarti Anda telah putus asa pada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tak ada yang ridha melihat orang malas seperti dirimu, yang tak mau bekerja untuk keselamatan dirinya,” kata Abu Hanifah dalam surat tersebut.
Tampaknya kali ini isi surat tersebut sedikit menggugah jiwa Abbad. Ia pun merenungi isi surat Abu Hanifah. Ia kemudian meneruskan membaca surat itu.
“Kawan, jangan Anda teruskan perbuatan demikian. Hendaklah Anda bekerja, meski gajinya kecil asalkan halal tak mengapa. Bekerjalah, jangan hanya berdiam diri di rumah. Hanya Allah yang bisa memberi rezeki, tetapi rizki tersebut tak mungkin datang dengan sendirinya, Anda harus mencarinya kawan. Allah tak akan mengabulkan permohonan orang yang malas bekerja.”