Jumat 25 Apr 2014 13:56 WIB

Membaca Lembaran Baru Sudan (2)

Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.
Foto: AP Photo/Abd Raouf
Warga Sudan melaksanakan shalat Zhuhur di sebuah masjid tua di Ibu Kota Khartoum.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada April 2012 lalu, peledakan sumur minyak di Higlig kembali menghangatkan konflik dan kontak senjata antara kedua belah pihak. Berbagai upaya diplomasi untuk mengatasi perseteruan antara kedua negara terus diupayakan.

Yang mutakhir, adalah jalan tengah honorium pemanfaatan pipa minyak Sudan dari Selatan. Walau demikian, banyak pihak yang menilai kesepakatan itu dirasa kurang memuaskan bagi Selatan.

Namun Juba—Ibu Kota Sudan Selatan—lebih mempertimbangkan dua cabang strategi ekonomi yang akan diambil, yakni memanfaatkan pipa minyak Sudan utara dan mengalternatifkan ekspor minyak mentah ke pasar internasional.

Hasil kajian Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) Khartoum menyimpulkan, kedua negara akan mencapai titik dalam mewujudkan kesadaran untuk bekerja sama dengan iktikad baik. “Perjanjian antara Sudan dan Sudan Selatan adalah sebuah perkembangan untuk mengembangkan kepercayaan pascakonflik berkepanjangan.”

Hubungan cerah antara keduanya, juga dipengaruhi oleh kondisi politik pada masing-masing negara. Di Sudan Selatan, South Sudan’s Ruling Party (SPLM), partai penguasa, lebih leluasa menggerakkan sayapnya karena belum adanya oposisi yang terorganisir.

Begitu halnya dengan National Congress Party (NCP), partai penguasa Sudan milik Omar El-Basyir yang mendapat angin positif. Meski banyak yang memprediksi setelah diadakan pemilu pada 201, akan ada pertanyaan-pertanyaan besar, seperti siapa pengganti pemimpin NCP?

Sebab, sejauh ini belum ada tokoh yang punya kharisma cukup kuat untuk menggantikan Basyir. Justru saat ini Hassan al-Turabi, pembesar partai oposisi yang sangat diharapkan, malah kurang begitu terangkat di masyarakat.

LTN-NU menilai, jalan damai yang berlangsung dan stabilitasi politik yang terjadi antara kedua negara ini, bagaimanapun adalah tanggung jawab pembuat kebijakan di Khartoum dan Juba. Mereka yang menentukan sejauh mana perdamaian antarkeduanya mampu bertahan.

Jalan tengah yang dibangun antara kedua negara harus disambut baik oleh semua pihak. Sebab, kejayaan plus kedamaian bagi Sudan hanya bisa dibangun untuk masa depan, bukan masa lalu. Kedua belah pihak saling membuka lembaran baru.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement