Sabtu 26 Apr 2014 05:10 WIB

Kisah Ulama Nusantara yang Menimba Ilmu di Makkah dan Madinah (2)

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Bilal Ramadhan
Jamaah haji saat melaksanakan ritual tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Jamaah haji saat melaksanakan ritual tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama nusantara kerap menimba ilmunya di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah. Berikut ulama-ulama yang pernah mengenyam pendidikan di dua kota suci tersebut;

Pada usia 15 tahun, Syaikh Nawawi al-Bantani menunaikan haji. Beliau berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Makkah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Namun, guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan ulama terkemuka Makkah Syaikh Ahmad Dimyati.

 

Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud juga menimba ilmu ke Makkah. Seorang ulama termasyhur di Asahan menganjurkannya belajar ke sana karena menilai ia memiliki talenta menjadi ulama. Begitu juga dengan Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri yang belajar ke Masjidil Haram, Makkah.

 

Selain memperdalam agama Islam di Makkah, ada pula ulama yang belajar selain ke Makkah. KH Abdullah bin Nuh dari Cianjur pernah menimba ilmu di Universitas al Azhar, Kairo, Mesir karena kemahirannya berbahasa Arab. Dia pergi atas ajakan gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim.

 

Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun (1926 hingga 1928) belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu keislaman.

 

Seperti dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, pada akhir 1943 Abdullah masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di Semplak Bogor. Pada 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta.

 

Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk Belanda.

 

Di bidang lain, ia merupakan penggagas siaran bahasa Arab pada RRI Yogyakarta. Selama di Jakarta pada 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

 

Menurut Johan Eisenberger dalam disertasinya yang berjudul Indie and de Bedevaart naar Mekka, penguasa tradisional nusantara pada abad ke-18 memang memiliki kebiasaan dan selalu berusaha mengirimkan para ulamanya ke Makkah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement