REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Suasana berbeda terlihat di Balai Kota Yogyakarta, Kamis (8/5). Para pegawai di Pemkot Yogyakarta tidak lagi mengenakan baju batik maupun baju safari. Hanya para penjaga pintu masuk dan keluar serta tukang parkir yang masih tetap mengenakan baju keseharian mereka. Selebihnya para pegawai baik pegawai negeri sipil (PNS) maupun honorer di Pemkot Yogyakarta mengenakan baju adat Yogyakarta yaitu surjan baju lurik dan jarit dengan blangkon untuk laki-laki dan kebaya serta jarit untuk perempuan.
"Sedikit ribet, gerah juga tetapi ya asyik-asyik saja," kata Anike, pegawai honorer di lingkungan Pemkot Yogyakarta saat ditanya perasaannya mengenakan baju adat Yogyakarta saat bekerja. Meski mengenakan jarit dan kebaya namun Anike tetap lincah naik turun tangga di Balai Kota Yogyakarta untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti resmi menerapkan aturan penggunaan baju adat Yogyakarta sebagai baju kerja di lingkungan Balai Kota setempat. Hal ini dilakukan sebagai implikasi dengan penerapan Undang-undang Keistimewaan bagi DI Yogyakarta. "Ini baru langkah awal. Ke depan akan kami kembangkan dengan penggunaan bahasa dan tulisan Jawa. Harapannya, seluruh elemen di Yogyakarta juga bisa memperteguh budaya dengan caranya masing-masing," katanya.
Haryadi sendiri juga megenakan baju adat Yogyakarta berupa surjan lengkap dengan blangkon dan jaritnya. Pemakaian baju adat gagrak (adat) Yogya tersebut hanya dilakukan satu kali setiap 45 hari atau setiap Kamis Pahing. Hal ini diatur dalam Keputusan Walikota (Kepwal) Nomor 137/2014. Bukan sekadar baju semata, melainkan lengkap dengan jarit, keris, blangkon, baju lurit serta sanggul bagi perempuan.
Pemilihan hari Kamis Pahing untuk pengenaan baju adat tersebut disesuaikan dengan hari perpindahan Kraton Yogyakarta dari Ambarketawang, Gamping, Sleman ke Yogyakarta. "Hari ini memang yang pertama. Saya pantau, pelayanan tidak ada yang terganggu dan para pegawai justru cukup antusias," katanya.
Menurut Haryadi, tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk memperteguh nilai kebuyaan. Haryadi menilai, selama ini baju khas Yogyakarta sangat jarang dikenakan. Pemakaiannya pun hanya pada momentum tertentu saja. Sehingga jajarannya ingin memaknai secara lebih mendalam dengan menjadikannya sebagai pakaian dinas.
"Ini juga sebagai ajang promosi wisata karena Kota Yogyakarta adalah kota wisata," ujarnya. Harapannya sebagai kota pariwisata dan budaya, Yogyakarta memiliki ciri khas khusus dalam layanan publik berupa penggunaan baju adat di hari tertentu tersebut.