REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rukyat Qabla Ghurub merupakan metode baru dalam melihat hilal bulan baru. Hingga kini pemantapan praktik Rukyat Qabla Ghurun terus dilakukan oleh pengagasanya, oleh karena itu dilaksanakannya kegiatan Pemantapan ke 2 Astrofotografi pada 28-29 Mei di Lamongan.
“Saat pertemuan 28-29 kemarin adalah membahas pemantapan dalam pelakasaan praktik metode Qabla Ghurub yang akan dilakukan pada 27 Juni mendatang,” ujar Agus Mustafa, penggagas metode astrofotografi, saat dihubungi Republika (30/5).
Ia berkata, kegiatan tersebut merupakan proses kelanjutan dari workshop astrofotografi bulan lalu di kantor PP Muhammadiyah. Dengan tujuan untuk memantapkan persiapan untuk menggunakan metode astrofotografi, seperti memberikan pelatihan dalam menggunakan alat yang akan digunakan kepada 60 relawan yang terdiri atas para ilmuan yang ahli dalam bidangnya.
Selain memberikan pelatihan kepada relawan, pemantapan tersebut juga membahas lokasi-lokasi yang akan menjadi tempat melihat hilal baru. Ia menjelaskan terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan lokasi yang tepat untuk dapat melihat hilal dengan alat yang akan digunakan.
Para relawan yang terdiri dari 60 orang tersebut merupakan perwakilan dri beberapa lembaga, seperti perguruan tinggi PBNU maupun Muhammadiyah, selain itu terdapat pula perwakilan perguruan tinggi netral seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Surabaya, serta beberapa komunitas astronomi.
Kemudian, terkait beberapa daearah yang diijadikan sebagai lokasi melihat saat ini telah terangkum beberapa daerah yang dikatakan dapat digunakan sesuai dengan kriteria terdiri atas, Cilacap, Parangtritis, Pacitan, dan Semarang. “Beberapa daerah lagi tengah di bahas apakah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan,” kata Mustofa.
Kriteria untuk menentukan lokasi-lokasi tersebut terdiri atas lokasi yang memiliki titik horizon tinggi dalam melihat hilal saat Ij’tima, kemudian yang kedua adalah lokasi yang memiliki kondisi cuaca yang tidak berawan maupun hujan.
“Ij’tima merupakan proses menunjukannya pergantian bulan lama ke bulan yang baru sesuai hisab, dan saat menjelang Ramadhan ini, Ij’tima akan terjadi pada 27 Juni sore hari. Oleh karena itu, kami mencari lokasi yang sesuai, beberapa lokasi yang dapat melihat bulan yang masih tinggi dan kondisi cuaca pada saat itu tak berawan ataupun hujan,“ jelasnya.
“Saya ingin menunjukan bahwa dengan menggunakan metode astrofotografi ini dapat melihat hilal lama, hilal saat ij’tima dan hilal baru, sehingga dapat menemukan titik temu dalam perbedaan-perbedaan yang terjadi hingga saat ini,” kata pria yang segera menerbitkan sebuah buku berjudul Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib.
Perjuangan ini akan tetap dilanjutkan, walaupun nantinya banyak yang belum menerima metode ini. Agus Mustofa sangat berharap, nantinya pada Ramadhan tiga tahun kedepan seluruuh masyarakat, ormas dan pemerintah Indonesia dapat menerima pengggunaan metode astrofotografi.
Motede astrofotografi ini merupakan metode yang pertama kali di dunia dan praktik pertama adalah di Indonesia.
“Saya berharap metode ini bisa menjadi rekomendasi negara-negara lainnya dalam menentukan awal bulan, karena tidak hanya di Indonesia yang mengalami perbedaan di kalangan masyarakatnya. Tetapi, negara lainnya juga mengalami hal yang sama yaitu terpaku pada rukyat dan hisab saja,” lanjutnya.
Diketahui bahwa satu alat yang digunakan dalam menggunakan metode astrofotografi sekitar ratusan juta rupiah. Sedangkan, dalam praktik melihat hilal dibutuhkan beberapa alat untuk disebar di berberapa lokasi. Agus Mustofa menjelaskan bahwa dana yang diperoleh untuk membeli alat-alat tersebut dari infaq para jamaah yang sama-sama ingin menyelesaikan masalah perbedaan.
“Sekali lagi, saya ingin menunjukan bahwa penentuan awal bulan dapat diketahui dengan cara ilmiah dan obyektif yaitu dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Bukan bertujuan untuk menambah perpecahan tetapi ingin menyelesaikan masalah perbedaan ini.” kata Agus Mustofa.