REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDI Perjuangan (PDIP) menolak wacana pemilihan pimpinan DPR melalui mekanisme voting atau musyawarah mufakat. Bagi PDIP, wacana tersebut merupakan bentuk perlakuan tidak adil.
"Bagi kami wacana ini sangat tidak fair," kata anggota panitia khusus (pansus) revisi UU MPR, DPR, DPD (UU MD3) dari Fraksi PDIP, Eva K Sundari ketika dihubungi Republika, Senin (2/6).
Eva menyatakan sudah seyogyanya ketua atau pimpinan DPR dijabat oleh partai pemenang pemilu. Ini sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras partai yang berhasil meraih dukungan terbanyak dari rakyat dalam pileg. "Di mana pun di seluruh dunia, pemenang pemilu menjadi ketua DPR," ujar Eva.
Anggota Komisi III DPR itu menilai, langkah itu merupakan upaya membawa pertarungan pilpres ke pembahasan revisi UU MD3. Karenanya, cara semacam itu harus dihentikan karena berpotensi menciptakan kekisruhan di antara partai politik. "Kalau begini caranya, ya berantem terus," katanya.
Eva menyatakan tidak ada korelasi antara jabatan pimpinan DPR yang berasal dari partai pemenang pemilu dan fungsi pengawasan terhadap kerja pemerintah. Karena praktik pengawasan sudah dilakukan DPR lewat mitra kerja yang tergabung dalam tiap komisi di DPR. "Itu argumen yang keliru," ujarnya.
Menurutnya, perlu ada pembagian posisi yang dalam struktur kepemimpinan DPR. Misalnya, jika jabatan pimpinan DPR menjadi milik partai pemenang pemilu maka partai yang kalah di pemilu berhak menempati posisi sebagai ketua Badan Anggaran DPR.
"Ketua Banggar diberikan kepada oposisi. Ketua DPR kepada pemenang pemilu," katanya.