REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Seiring nasib Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 47/2004 yang belum kunjung disahkan, kembali muncul kasus gratifikasi di kalangan penghulu. Kasus tersebut berupa dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan pegawai Kantor Urusan Agama Bangsal, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (19/6).
Dalam kasus tersebut, salah seorang warga dimintai biaya Rp 150 ribu ketika ingin mengurusi duplikasi buku nikah milik orangtuanya.
Sebelumnya diberitakan bahwa pengesahan RPP tinggal menuju satu tahap lagi, yakni pembubuhan tanda tangan Presiden SBY. Sejak Jumat (20/6) draf RPP sudah berada di meja Presiden, namun sampai hari ini belum juga ditandatanganinya. Padahal, KUA dan masyarakat sangat berharap RPP segera disahkan, agar praktik gratifikasi segera dihentikan.
“Kami berharap agar Pak Menteri Agama berkenan menelepon Presiden untuk menandatangani RPP, mengingat penyimpangan di KUA di daerah semakin meluas,” kata Inspektur Jenderal Kementerian Agama M Jasin kepada Republika, Rabu (25/6).
Menindaklanjuti kasus pungli atas layanan duplikasi surat nikah di Mojokerto, Tim Inspektorat Jenderal Kementerian Agama telah melakukan verifikas dan memeriksa pihak-pihak yang terlibat. Diduga, praktik pungli telah berlangsung lama dan meluas. Maka dari itu, Jasin meminta masyarakat proaktif melaporkan oknum-oknum KUA yang melanggar peraturan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun AW mengakui, kasus pungli atas layanan duplikasi buku nikah memang sebuah pelanggaran. Duplikasi buku nikah, kata dia, diperlukan untuk kebutuhan pencatatan kependudukan.
Kebanyakan masyarakat yang menduplikasi buku nikah adalah mereka yang mencatatkan administrasi pernikahan pada tahun 1940-an. Sebab sudah sekian lama, maka buku nikah mereka hilang atau rusak dan perlu diduplikasi. “Layanan duplikasi buku nikah itu gratis,” tegas Wagimun.
Namun, dia menyebut alasan-alasan yang membuat pegawai KUA melakukan pungli adalah minimnya biaya operasional, serta belum adanya aturan teknis dan detil dalam mengurusi persuratan di KUA.
Disebutkannya, selama ini KUA menerima biaya operasional perbulan sebesar tiga juta. Dibandingkan dengan kebutuhan dan pengeluaran di KUA, biaya tersebut dinilai minim.
Maka dari itu, mereka kerap berinisiatif untuk melakukan pungutan dari masyarakat. “Makanya, jika sekarang banyak pungli, harap maklum karena juga tidak ada aturan jelas sehingga KUA membuat aturan sendiri,” kata Wagimun.
Dia pun berharap, pemerintah pusat segera membuat aturan yang detil tentang teknis kerja di kantor KUA, dari mulai mengurusi persuratan, pencatatan nikah, dan layanan masyarakat lainnya. Wagimun dan para penghulu lainnya juga berharap, bulan ini RPP tentang tarif nikah segera disahkan.