Jumat 27 Jun 2014 03:35 WIB

Satpol PP Targetkan Praktik Prostitusi Dolly Bersih Tiga Bulan Pascadeklarasi

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Julkifli Marbun
Suasana di Gang Dolly Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Reuters/Sigit Pamungkas
Suasana di Gang Dolly Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), menargetkan Dolly benar-benar bersih dari praktik prostitusi tiga bulan pascadeklarasi penutupan Dolly yaitu pada 18 September 2014.

Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto mengatakan, pihaknya berkeinginan agar masyarakat di kawasan tersebut, untuk hidup lebih baik dan lebih bermartabat.

Untuk itu, kata dia, Satpol PP Surabaya mengedepankan upaya preventif dan persuasif supaya Dolly benar-benar steril dari praktik prostitusi. Namun Irvan mengaku membutuhkan waktu setidaknya tiga bulan setelah pengucapan deklarasi penutupan lokalisasi Dolly pada Rabu (18/6) kemarin supaya tempat ini benar-benar bersih dari praktik prostitusi.

“Saya kira tiga bulan merupakan waktu yang cukup untuk membersihkan Dolly dari praktek prostitusi,” ujarnya pada Republika, Kamis (26/6).

 

Selama rentang waktu tersebut, pihaknya akan melakukan pendekatan humanisme dan persuasif. Pihaknya mengaku tidak lelah menumbuhkan kesadaran kepada rekan-rekan yang masih melakukan penolakan. Satpol PP, kata dia, akan terus melakukan upaya-upaya untuk membersihkan kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara.

Apalagi berdasarkan Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memiliki hak dan wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri selain sembilan hal yang ditangani pusat. Salah satunya, Pemkot memiliki fungsi mengatur, memperkuat, dan pemberdayaan warga.

“Artinya Pemkot Surabaya tentu saja berhak mengatur mana yang boleh dan mana yang tidak diperbolehkan. Tak hanya itu, Peraturan Daerah (Perda) nomor 7 tahun 1999 juga telah jelas disebutkan bahwa rumah tidak diperbolehkan untuk tempat pemikatan melakukan perbuatan asusila,” katanya.

Apalagi, dia melanjutkan, pemerintah bersama warga telah sepakat menyatakan prostitusi Dolly ditutup yang diucapkan saat deklarasi, Rabu (18/6) kemarin. Namun dia meluruskan bahwa kawasan tersebut bukan ditutup melainkan dialihfungsikan, seperti beralihfungsi kost-kosan atau tempat usaha. Untuk mengawasinya, pihaknya akan tetap melakukan sweeping terhadap eks lokalisasi yang memang harus dilakukan dan wajib tutup selama bulan Ramadhan nanti.

Dia menambahkan, tak hanya lokalisasi prostitusi, semua tempat hiburan malam seperti karaoke, pantai pijat, dan tempat hiburan remang-remang wajib ditutup selama bulan puasa. Satpol PP juga telah bersinergi dengan jajaran samping seperti tentara nasional Indonesia (TNI) dan polisi untuk memperlancar penertiban.

Setiap harinya sebanyak 50-100 personel Satpol PP akan melakukan razia di tiap-tiap kecamatan. “Khusus tahun ini, kami akan fokus menertibkan kawasan-kawasan eks-lokalisasi. Aparat bakal memastikan di tempat-tempat tersebut tidak akan ada lagi kegiatan pelacuran,” ujarnya.

Namun pihaknya meminta agar pihak sipil maupun organisasi massa (ormas) Islam supaya tidak melakukan sweeping secara sepihak. Irvan menegaskan sweeping merupakan tanggung jawab pihaknya selaku pemerintah daerah yakni menjaga kondusifitas kota.

“Jadi jangan sampai ada sweeping-sweeping yang meresahkan masyarakat. Kami menjamin dan berusaha semaksimal mungkin agar kesepakatan seruan bersama tidak dilanggar,” katanya.

Dia juga menghimbau semua pihak agar menjaga untuk tidak mengadu domba agar tidak sampai terjadi konflik horizontal. Pihaknya tidak ingin ada konflik horizontal. Sehingga tidak boleh ada pihak, baik yang menolak atau setuju yang menjadi korban.

“Itu juga keinginan dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Sub Bagian (Kasubag) Hubungan Masyarakat Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti mengatakan, sejak awal, pihaknya mendukung sepenuhnya recana Pemkot Surabaya dalam penutupan lokalisasi Dolly. Meski diakuinya memang masih ada kelompok yang tidak setuju.

Namun Polrestabes Surabaya mengaku banyak mengantisipasi kemungkinan ricuh saat eksekusi penertiban. Caranya yaitu dengan menerjunkan aparatnya yang tidak berseragam polisi maupun berseragam supaya membaur kepada masyarakat. Selain itu, pihaknya melakukan pengawasan dan pengamanan secara maksimal sampai tahap selanjutnya dilakukan.

“Intinya, sebagai petugas negara, kita berharap tidak memusuhi warga tetapi menegakkan peraturan,” katanya.

Terkait masalah penegakan hukum, bila ternyata masih ditemukan hal-hal terkait dengan kegiatan prostitusi, Polrestabes Surabaya akan menerapkan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP.

Suparti menjelaskan, di Pasal 296 KUHP dijelaskan bahwa barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikan sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan dan denda Rp 15 ribu.

Sementara untuk Pasal 506 KUHP dinyatakan barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam kurungan satu tahun.

“Ini sudah pernah diterapkan Polres KP3 Tanjung Perak ketika ibu Risma selesai menutup lokalisasi di Dupak Bangunsari dan dijalankan di Sememi. Mudah-mudahan bulan puasa Ramadhan nanti jadi penyadaran,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement