REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Pusat Statistik bersama sejumlah lembaga negara merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2013, Jumat (4/7). Menurut laporan tersebut, IDI 2013 mengalami kenaikan 1,05 poin. Meskipun begitu, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terjadi fluktuasi, bahkan dua di antara tiga aspek yang dievaluasi mengalami penurunan.
Dua aspek yang nilainya merosot adalah soal 'kebebasan sipil' dan 'hak-hak politik'. Pada 2009, ketika pertama kali program IDI digulirkan, poin untuk kebebasan sipil adalah 86,97. Sementara tahun 2013, poin untuk aspek tersebut turun menjadi 79,00, atau susut 7,97 poin. Kemudian pada aspek hak-hak sipil, terjadi penuirunan sebesar 8,35 poin, dari 54,60 menjadi 46,25.
Hanya poin aspek 'lembaga demokrasi' saja yang tercatat naik selama lima tahun terakhir, yakni dari 62,72 pada 2009 menjadi 72,11 pada 2013. Ketika angka-angka tersebut dikonversi ke dalam kategori, dapat disimpulkan bahwa aspek kebebasan sipil terjun dari kategori 'baik' (antara 80 hingga 100 poin) pada 2009 ke kategori 'sedang' (60-80 poin) pada 2013.
Selanjutnya, aspek pemenuhan 'hak-hak politik' tidak pernah beranjak dari kategori buruk (0-60 poin). Pada 2009, poin aspek tersebut adalah 54,60, lalu semakin menurun menjadi 46,25 pada 2013. Sementara itu, pada aspek 'lembaga demokrasi', kenaikan poin belum mampu menembus kategori baik dan tetap berada dalam kategori 'sedang'.
Menanggapi hal tersebut peneliti senior LIPI Syarif Hidayat berpendapat, fluktuasi, bahkan penurunan terjadi akibat belum stabilnya perilaku berdemokrasi masyarakat Indonesia. Dia mencontohkan, perilaku buruk dalam berdemokrasi sering kali timbul dalam musim-musim pemilu. "Dari situlah IDI terus merosot," ujar Syarif yang juga Dewan Ahli IDI.
Lebih jauh, Syarif berpendapat, demokrasi di Indonesia belum beranjak dari fase transisi. "Jika ingin demokrasi kita substantif, salah satu syarat pentingnya adalah perubahan perilaku berdemokrasi," ujar dia.