REPUBLIKA.CO.ID, Agama Baha'i sedang mencuat menjadi pembahasan masyarakat. Itu setelah Menag Lukman Hakim Syaifuddin sedang mengkaji untuk mengakui agama Baha'i secara konstitusi. Berikut wawancara dengan kandidat doktor dari Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) UGM, Amanah Nurish, yang juga peneliti agama Baha'i di Indonesia dan Asia Tenggara
6. Bagaimana pola interaksi pemeluk Baha'i dengan tetangga sekitarnya?
Semenjak almarhum Gus Dur mencabut Keppres Nomor 264/1962 dengan Keppres Nomor 69/2000, pola interaksi pemeluk Baha’i di perkotaan dengan tetangga sekitarnya ya sama seperti pemeluk agama yang lain, saya kira harmonis dan damai khususnya yang di perkotaan.
Mereka hidup bersosialisasi dan bertetangga dengan ummat Kristiani, Muslim, Budha, Hindu, dan pemeluk agama lainnya. Pemeluk Baha’i yang saya tahu tidak menyembunyikan identitas keagamaannya, dan biasanya dengan terus terang bilang ke pemerintah setempat untuk urusan-urusan administrasi kalau agama yang dianut adalah Baha’i. Nah, ketika di tahap ini tidak jarang pemeluk Baha’i mengalami kendala dalam urusan administrasi.
7. Bagaimana jalinan silaturahim pemeluk Baha'i satu dengan yang lainnya?
Setiap tanggal 19 (dalam kalender Baha’i) biasanya pemeluk Baha’i bertemu dan berkumpul dalam kegiatan kerohanian, dhi’afah. Melalui kegiatan kerohanian pemeluk Baha’i memiliki jadwal rutin mengadakan diskusi dan doa bersama baik dari tingkat anak-anak, remaja, maupun orang tua, melalui pendidikan dan pemberdayaan moral sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif dan kreatif.
Kegiatan ini dimulai dari tingkat majelis rohani setempat (tingkat lokal) dan majelis rohani nasional. Di samping itu pula, pemeluk Baha’i sering mengadakan kegiatan-kegiatan konferensi tingkat dunia yang tidak hanya dihadiri oleh pemeluk Baha’i tetapi bisa juga dihadiri oleh non-Baha’i. Karakter Baha’i ini sangat terbuka sehingga keberadaannya mudah diterima oleh berbagai etnis, ras, suku, agama, dan bangsa.