Oleh: Tiar Anwar Bachtiar*
Kekuatan Islam kembali menampakkan kedahsyatannya, saat KH Hasyim Asy’ari–yang ketika itu dipercaya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam Indonesia dalam MIAI—mengeluarkan Resolusi Jihad, 1945.
Isinya menolak kedatangan kembali penjajah dan kewajiban umat Islam Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Artinya, melawan penjajah diberikan landasan hukum agama yang kokoh.
Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari mengandung tiga poin penting: (1) Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain, yaitu kewajiban bagi setiap Muslim yang mukallaf yang berada dalam jarak safar.
(2) berperang melawan penjajah termasuk jihad fi sabilillah, dan yang meninggal di medan perang tercatat sebagai syahid, dan (3) siapa pun yang mengkhianati perjuangan umat Islam, memecah-belah persatuan, dan membantu penjajah, dijatuhi hukuman mati.
Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari mendapat sambutan gegap gempita. Semangat jihad merebak. Para ulama dan santri tidak gentar menghadapi ribuan tentara penjajah yang mendarat di Surabaya. Terjadilah pertempuran 10 November 1945.
Mayor Jenderal EC Man sergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika, dengan 15 ribu tentara, tidak berhasil menundukkan Indonesia. Itu pun masih dibantu 6.000 personel Brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.
Namun, mereka berhasil didesak oleh laskar kiai dan santri. Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas di tangan laskar santri. (http://insistnet.com/resolusi- jihad-kh-hasyim-asyari/).
Tentu, tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka sebagian besarnya adalah juga umat Islam.
Hanya saja, pilihan perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam, melainkan mengabdi kepada kepentingan pragmatis atau demi kepentingan kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan ini— Islam dan Sekuler—saling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan negara baru nantinya.
*Peneliti INSISTS/Ketua Umum PP Persis