REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Pascasarjana Hukum Universtas Al Azhar Indonesia Prasetio kembali menerbitkan buku. Setelah menerbitkan buku pertamanya berjudul, Dilema BUMN, Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN (2014), Prasetio kembali menuliskan pengalaman, pengetahuan dan tips-nya bagi para eksekutif di BUMN khususnya dan bagi peminat serta pemerhati manajemen risiko.
Buku tersebut berjudul 'It Goes Without Saying, Pengalaman Membangun Risiko Melekat di BUMN' (Desember 2015). Prasetio mengungkapkan buku ini merupakan himpunan catatan dan pemikiran dirinya pada saat menjadi bagian dari upaya besar membangun budaya sadar risiko di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tempatnya ia melakukan pengabdian.
“Ini adalah catatan dan pemikiran saya di lapangan sebagai eksekutif di tiga BUMN. Baik yang sudah lalu, maupun saat ini. Buku ini saya tuangkan dengan cara yang berbeda diantara buku-buku teks manajemen risiko yang ada di pasar," kata dia, belum lama ini.
Buku ini menceritakan pengalaman membangun sedari 'nol' manajemen risiko di Telkom saat menjadi Direktur Compliance & Risk Management (2007-2012), dan dilanjutkan sebagai Direktur Utama di Perum Percetakan Uang RI (Peruri) 2012-saat ini. Menurut Pras, di Indonesia, akhir-akhir ini manajemen risiko diakui sangat penting dalam praktik bisnis.
Namun, kata dia, faktanya bidang ini belum dipandang sebagai kebutuhan mendasar. Mengutip Survei yang dilakukan AON Global Enterprise Risk Management pada 2010, level penerapan manajemen risiko oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terbilang rendah dibanding negara lain. Dari lima tingkat level manajemen risiko, Indonesia rata-rata masih pada level 1 dan 2.
Buku ini mengulas terungkapnya apa yang dikenal sebagai Skandal Enron di Amerika Serikat (2001) yang merupakan salah satu momentum yang mengubah pandangan dunia bisnis terhadap pentingnya manajemen risiko. Skandal Enron memberi kesadaran baru tentang penting dan mendesaknya manajemen risiko pelaporan keuangan. Kesadaran itu meluas tak hanya di Negara Paman Sam, tetapi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
“Telkom sebagai BUMN, yang multilisting, termasuk di Bursa Saham New York (New York Stock Exchange), memerlukan kultur risiko untuk menjaga dan memastikan tata kelola (governance) berjalan baik. Ini bukan hanya untuk mencegah terulangnya pengalaman Enron di perusahaan milik negara, melainkan juga sebagai bagian dari langkah Telkom menjadi perusahaan kelas dunia (world class company),” tambahnya.
Dikatakan Pras, didalam mengungkapkan isi buku ini, dirinya berusaha dengan gamblang dan sepopuler mungkin mengetengahkan bagaimana proses transformasi bisnis berlangsung agar terbangun kesadaran akan risiko. Dan untuk mencapai hal itu, dibutuhkan energi ‘pelari marathon’, namun dengan kecepatan pelari sprint.
“Dari pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam bidang manajemen risiko, saya ingin menegaskan bahwa kunci manajemen risiko adalah taat dan disiplin pada proses," kata dia.
Dalam testimoni terhadap buku ini, Arief Yahya kini Menteri Pariwisata RI dan pernah menjadi Direktur Utama Telkom periode 2012-2014 mengungkapkan beberapa pengambil keputusan ada yang lebih fokus pada return, hasilnya bagus untuk jangka pendek. Beberapa yang lain terpaku pada risiko, sehingga terkesan lambat, padahal dalam dunia bisnis saat ini, kata Arief, kecepatan merupakan strategi utama.