Rabu 25 May 2011 20:32 WIB

'Radikalisme Pada Dasarnya Sama dengan Gaya Hidup'

Rep: C04/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, Depok – Pengamat Teroris, Mardigu Prasantyo mengungkapkan bahwa ideologi radikalisme pada dasarnya dapat disamakan dengan lifestyle atau gaya hidup. Hal itu disampaikan dia ketika menutup seminar dengan tajuk 'Terorisme Pasca Kematian Usamah bin Ladin', di Jakarta, Rabu (25/5).

Pria yang merupakan pendiri Narapati Mind Mental Clinic ini mengatakan, menurut para teroris, ideologi yang mereka sebarkan selama ini berbeda dengan doktrin. Dari wawancara yang dilakukan oleh ahli interogasi dan wawancara investigasi menggunakan teknik hipnotis ini dengan beberapa teroris, penyebaran ideologi yang cenderung radikal dan ekstrim ini lebih cenderung dikenal dengan kata 'berdakwah'.

"Disinilah perbedaan cara pandang itu terletak. Menurut mereka, sesuatu yang kita kenal sebagai 'doktrin' malah disebut sebagai dakwah," ujarnya.

Mardigu juga mengatakan dalam proses radikalisme ini, biasanya terjadi pencucian otak atau brain wash. Sesuatu hal yang diulang secara terus menerus dalam kepala seseorang ini kemudian membentuk sebuah pembenaran di otak mereka.

"Dalam brain wash, sesuatu yang diulang-ulang ini pada akhirnya akan menjadi kebenaran," ujarnya. Ia menilai, ketika terjadi pencucian otak, sebenarnya memori yang lama tidak sepenuhnya hilang. Mardigu berpendapat jika otak manusia ini layaknya komputer yang memiliki drive A dan drive B. Bisa ditambah datanya, namun tak dapat dihapuskan begitu saja.  

Terkait hal tersebut, Pengamat dan Peneliti Perilaku Pelaku Teror Sarlito W. Sarwono juga menambahkan jika pemikiran yang radikal atau ekstrim belum dapat dimasukkan dalam kategori psikopat. Menurutnya, gila itu bermacam-macam jenisnya dan yang disebutkan gangguan jiwa serius itu baru dapat dikatakan prikopat. "Para teroris itu tidak masuk dalam golongan penyakit psikopat," katanya menegaskan.

Menurut Sarlito, proses masuk ke dalam radikalisme ini sebenarnya tidak benar-benar dilakukan dengan jalur radikal. Pencucian otak yang dilakukan agar orang mau menjadi teroris sesungguhnya berlangsung pada orang-orang yang siap mendapatkan sesuatu yang bersifat spiritual.

Mereka adalah orang-orang yang sepenuh hati rela mendapat ajaran islam dan kebanyakan merupakan orang-orang biasa. "Apa yang ditawarkan juga kebanyakan tidak bertolak belakang dengan ajaran muslim sehingga dengan mudah diterima saja," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement