REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Pengalaman sholat selama perjalanan udara sarat upaya untuk menyiasati keterbatasan ruang dan perbedaan waktu.
Kepala Balitbangkes Kemenkes RI Prof Tjandra Yoga Aditama ingin berbagi pengalamannya saat memenuhi kewajibannya sebagai seorang Muslim bermobilitas tinggi. Ia bertutur tentang perjalanannya sepulang dari mengikuti Joint Coordination Board Tropical Diseases Research (JCB TDR) di Jenewa ke Abu Dhabi pada akhir Juni 2014 lalu.
“Saya biasanya tayamum kalau sholat di pesawat sambil duduk di kursi. Tapi, terus terang, waktu bisa sholat berdiri di Etihad itu maka saya wudhu beneran di kamar mandi, di bak wastafel yang ada sehingga air tidak tercecer ke bawah,” ujar Tjandra saat dihubungi ROL, Ahad (14/9).
Masalahnya, imbuh Tjandra, saat cuci kaki, ia menyiram kaki dengan gelas kertas di kamar mandi. Ia terpaksa meletakkan kakinya di atas toilet, sehingga lantai kamar mandi pesawat tetap kering.
Di pesawat ini, menurutnya, para penumpang bussiness class bisa sholat dengan berdiri disamping pintu darurat. Awak pesawat menyediakan sajadah dan memberi tahu arah kiblat, yang tentunya berubah-ubah sesuai dengan arah pesawat.
“Ini pengalaman pertama saya untuk sholat di angkasa sambil berdiri, jauh di atas bumi, rasanya kok lebih khusyuk, mungkin karena merasa dekat ke atas,” papar Tjandra.
Saat itu, ruangannya relatif sempit dan praktis hanya bisa satu orang, tidak mungkin shalat berjamaah. Ruku dan sujud dilakukan seperti biasa. Kalau ada turbulence, ujarnya, standarnya penumpang memakai sabuk pengaman. Tjandra pun memutuskan tidak menghentikan sholatnya sampai goncangan berhenti.
“Sholat di pesawat yang saya lakukan sambil berdiri adalah jama qasar Dzuhur dan Ashar, ketika memang pesawat sedang terang. Saya tidak lakukan lagi saat Magrib dan Isya karena waktu itu lampu pesawat sudah dimatikan, saya sholat di kursi saja,” ujarnya.