REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Fikih Islam memberikan keringanan (rukhsah) bagi seorang musafir dalam melaksanakan sholat. Ketika menempuh perjalanan jauh, ulama membolehkan umat Islam untuk mengerjakan sholat jamak qashar.
Dalam Alquran, Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) berfirman:
وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ
Artinya: "Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar sholat." (QS An-Nisa' [4]:101).
Sholat jamak berarti menggabungkan dua sholat fardhu dalam satu waktu, kecuali sholat Subuh. Untuk jamak qashar sendiri, yaitu meringkas sholat yang jumlah rakaatnya empat menjadi dua rakaat (Dzuhur, Ashar, dan Isya). Qashar tidak berlaku untuk Maghrib, sehingga saat dijamak rakaatnya tetap tiga.
Ada beberapa syarat diperbolehkannya Jamak Qashar, yaitu perjalannya minimal sejauh 80,64 kilometer (Lihat Al-Kurdi, Tanwirul Quluub, Thoha Putra, juz I hal 172). Kedua, perjalanan tidak bertujuan maksiat.
Syarat ketiga, statusnya sebagai musafir tetap berlaku atau belum kembali ke tempat tinggal (mukim). Keempat, tidak bermakmum pada orang (imam) yang tidak sedang melakukan perjalanan (musafir).
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai durasi maksimal seseorang dianggap musafir dan bisa melaksanakan sholat Jamak Qashar.
Menurut Madzhab Hanafi, jika berniat tinggal lebih dari 15 hari di suatu tempat, maka status musafir hilang, dan ia harus sholat seperti biasa (tanpa jamak/qashar).
Sedangkan dalam pandangan Madzhab Syafi’i dan Hanbali, jika berniat tinggal lebih dari empat hari (bukan termasuk hari kedatangan dan keberangkatan), status musafir hilang.
Sementara itu, Madzhab Maliki berpendapat bahwa maksimal empat hari (dengan hari kedatangan dan keberangkatan dihitung). Jika lebih dari itu, maka habislah masa keringanan baginya untuk mengqashar dan menjamak shalat.
Jadi bagaimana jika liburan lebih dari satu pekan?
Jika berniat menetap lebih dari empat hari (dalam Madzhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki), maka tidak boleh lagi melakukan jamak qashar, karena dianggap sudah mukim.
Jika tidak berniat menetap, atau perjalanan masih terus berlanjut tanpa durasi pasti, status musafir tetap berlaku, sehingga tetap diperbolehkan jamak/qashar.
Maka, jika liburan Anda hanya beberapa hari dan perjalanan memenuhi syarat (jarak dan tujuan), Anda boleh jamak qashar. Jika durasi liburan lebih dari empat hari dan Anda menetap di satu tempat, Anda dianggap mukim dan wajib sholat seperti biasa.
Sementara itu, Pengajar di Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Zarkasih Lc, menjelaskan, sebaiknya seorang Muslim memperhitungkan batas masa tinggalnya di tempat tujuan. Jika mrmgetahui akan singgah lebih dari tiga hari, artinya empat hari lebih, maka shalatnya tidak boleh dijamak dan diqashar.
"Hari kedatangan tidak dihitung. Ia sudah tidak boleh jamak dan qashar sejak sampai lokasi itu," ujar dia.
Ustadz Zarkasih mencontohkan, ada orang Jakarta dapat tugas ke Palembang, kemudian menginap di hotel. Surat tugasnya menyebut, ia harus tinggal di Palembang untuk urusan pekerjaan selama lima hari. Maka, sejak ia sampai di lokasi, tidak perlu menunggu sampai lima hari, ia sudah tidak boleh shalat jamak dan qashar.
"Jika ia tahu akan singgah di lokasi kurang dari empat hari, maka selama di lokasi ia tetap boleh jamak dan qashar shalat," kata dia.
Namun, jika ia tidak tahu berapa lama ia akan singgah karena memang tujuannya tidak bisa ditentukan, seperti mencari orang hilang atau menjaga orang sakit atau apa pun yang membuatnya tidak bisa menentukan berapa lama ia singgah, maka orang seperti ini boleh menjamak dan mengqashar shalat di lokasi tujuan itu sampai 18 hari.