REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menyatakan manajemen risiko melalui upaya lindung nilai (hedging) perlu diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri yang melakukan pinjaman luar negeri untuk antisipasi dampak dari gejolak perekonomian global.
"Kita di BI terus memperhatikan risiko valas khususnya kepada nilai tukar. Kita lihat pinjaman luar negeri terus berkembang, bahkan utang luar negeri swasta 2014 sudah lebih besar daripada pemerintah," kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat rapat koordinasi di Kantor Pusat BPK, Jakarta, Rabu.
Agus menuturkan, sekitar 88 persen perusahaan-perusahaan domestik tidak melakukan lindung nilai sehingga berisiko besar terhadap kinerja perusahaan tersebut apabila terjadi fluktuasi nilai tukar.
"Kita berusaha untuk jaga stabilitas nilai tukar, hedging ini merupakan solusi utama sehingga perusahaan-perusahaan kita punya kinerja yang lebih baik dan akuntabel," ujar Agus.
Agus sendiri menyambut baik adanya upaya inisiatif penerapan manajemen risiko melalui hedging tersebut namun perlu dilakukan sesuai dengan prosedur yang baik dan benar.
"Hedging harus dilakukan sesuai dengan SOP (prosedur operasional standar). Jika terjadi biaya, itu bukan kerugian negara. Ini musti kita jaga dan yakini tidak ada moral hazard di dalamnya," kata Agus.
Rupiah sendiri pada perdagangan Rabu dibuka menguat 0,36 persen ke Rp11.928 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Selasa (16/9) ditutup di level Rp11.971 per dolar AS.
Stabilitas rupiah kini masih dipengaruhi oleh faktor sentimen, baik yang bersumber dari eksternal maupun domestik. Faktor eskternal terkait dengan dinamika geopolitik, perkembangan ekonomi Tiongkok serta terkait dengan kemungkinan normalisasi kebijakan The Fed yang lebih cepat dari perkiraan semula.
Sementara itu, faktor lainnya yakni faktor sentimen domestik terkait dengan perilaku investor yang menunggu rencana kebijakan pemerintah ke depan, termasuk kebijakan terkait dengan subsidi energi.