REPUBLIKA.CO.ID, SANA'A -- Kelompok bersenjata Syiah Houti menolak keluar dari Sana'a, padahal penandatanganan kesepakatan telah dilakukan Presiden Yaman, Ahad (21/9). Dimana persetujuan tersebut bertujuan untuk mengakhiri krisis politik negaranya dengan gerakan pemberontak Syiah Houthi.
//Anadolu Agency//, Ahad (21/9) melaporkan, kesepakatan tersebut ditandatangani di ibukota Sana'a dan dihadapan seleuh kekuatan politik dan penasehat PBB untuk Yaman.
Dalam perjajian itu, pemerintah baru akan dibentuk di Yaman dalam waktu tiga hari. Sedangkan, Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadu akan memilih perdana menteri non partisipan untuk memimpin pemerintahan.
Tak hanya itu, perjanjian juga menetapkan pembentukan pemerintah teknokrat dalam waktu 30 hari. Yang mana akan mengurangi harga bahan bakar, membentuk sebuah upaya komite ekonomi setelah seminggu pembentukan pemerintahan baru.
Hal tersebut merupakan upaya untuk meringankan penderitaan ekonomi Yaman. Selain itu, menunjuk seorang penasihat dari Syiah Houthi untuk Presiden.
Perjanjian ini juga mengatur penghapusan tenda-tenda yang didirikan oleh pemberontak Syiah Houthi di ibukota. Namun, Houthi menolak untuk menandatangani lampiran keamanan dari isi perjanjian tersebut. Dan, mereka juga menolak untuk menarik diri dari ibukota Yaman.
Salah satu sumber kepresidenan mengatakan, lampiran tersebut mencakup tuntutan agar Syiah Houthi menyerahkan lembaga yang mereka kuasai di ibu kota. Selain itu, lampiran tersebut juga menyerukan untuk menangguhkan bentrokan militer dengan Syiah Houthi di provinsi utara Al-Jawf dan provinsi timur Maarib.
Penandatanganan perjanjian tersebut datang di tengah pengunduran diri Perdana Menteri Yaman Muhammad Basindawa yang menuduh Presiden Yaman hanya "one man show" dan menolak untuk berbagi kekuasaan dengan perdana menteri.