Rabu 24 Sep 2014 02:05 WIB

Ini Beda Jokowi dengan Soeharto dalam Memilih Calon Menteri

Rep: c91/ Red: Erdy Nasrul
Usulan Jokowi agar Megawati kembali menjadi ketum PDIP mengemuka saat Rakernas PDIP di Semarang (21/9).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Usulan Jokowi agar Megawati kembali menjadi ketum PDIP mengemuka saat Rakernas PDIP di Semarang (21/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo, dan Jusuf Kalla, kini tengah sibuk menyeleksi pejabat yang akan duduk di kursi kementerian dalam pemerintahannya.

Kabarnya, terdapat 2800 daftar nama calon menteri, namun sekarang sudah terpilih 200 nama. Selanjutnya, akan dikerucutkan lagi menjadi 34 nama.

Menanggapi hal itu, Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN), Sarwono Kusumaatmadja bercerita tentang pemilihan menteri pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. "Pak Soeharto memiliki cara berbeda dalam menyaring orang, yaitu dengan laporan intelijen," ungkapnya, dalam Diskusi Publik 'Strategi Mencapai Efektivitas dan Efisiensi Pemerintahan Jokowi-JK' di Hotel Haris, Jakarta, Selasa, (23/9).

Sarwono menyatakan, laporan tersebut sangat akurat, karena ia mengaku pernah melihatnya secara langsung. Baginya, cara tersebut digunakan, demi mencari orang terbaik.

Ia juga menjelaskan, terlepas dari masalah lainnya, sistem pengawasan menteri di rezim Soeharto menurutnya bagus. "Semua menteri diberi waktu sebulan sekali, untuk bertemu beliau, lalu laporan yang sudah kita kasih sebelumnya sudah dicek, dilipat, dan distabilo, setelah itu kita bisa berdiskusi habis-habisan dengan Presiden," tuturnya.

Dirinya berharap pemerintahan Jokowi akan lebih baik, karena menggunakan metode yang lebih transparan. Sarwono menambahkan, menteri harus kreatif, penuh inovasi, dan tak cepat menyerah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement