Sabtu 04 Oct 2014 17:54 WIB

Muhammadiyah: Hari Raya Islam Bisa Sama, Asal...

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: M Akbar
Logo Muhammadiyah di Masjid At-Taqwa, kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (27/6) malam.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Logo Muhammadiyah di Masjid At-Taqwa, kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (27/6) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Raya Idul Adha di Indonesia tahun ini kembali tidak serentak dilakukan. Sebagian umat Islam di Indonesia merayakannya hari Sabtu (4/10), sedangkan sebagian lainnya pada hari Ahad (5/10).

Padahal, umat Islam di seluruh Indonesia merindukan hari raya digelar secara bersamaan. Mungkinkah ke depan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha dilakukan secara bersamaan?

Ketua Dakwah Khusus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Agus Tri Sundani mengatakan, hal itu mungkin saja terjadi. Hanya saja sampai hari ini kesepakatan kriteria bulan baru masih belum ada titik temu. Muhammadiyah, kata dia, juga pernah melakukan upaya untuk itu dengan berbagai ormas Islam.

"Termasuk kita juga pernah sowan ke Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama. Tetapi memang belum ada kesepakatan," katanya kepada ROL usai menjadi khatib dan imam shalat Ied di halaman Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (4/10).

Dia mengatakan, Muhammadiyah akan siap duduk bersama untuk membahas kesepakatan terkait kriteria hilal. Persoalan kriteria hilal yang selama ini menjadi perdebatan bisa didiskusikan untuk menemukan titik temunya. Asal, kata dia, metode yang digunakan adalah tetap menggunakan metode hisab.

Menurutnya, Muhammadiyah memilih metode hisab tidak hanya berdasarkan dalil dari Alquran dan hadits, tetapi juga dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu dinilai lebih mempermudah karena menggunakan metodologi dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Sebenarnya (kriteria hilal) ini adalah persoalan yang bisa disepakati. Tetapi kalau metode rukyat masih dilakukan, kita susah bertemu," ujarnya.

Terkait kriteria hilal, pemerintah bersama anggota MABIMS yakni Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah menetapkan bahwa bisa dikatakan bulan baru jika tinggi hilal 2 derajad, sudut elongasi 3 derajad dan umur hilal sudah mencapai 8 jam.

Sementara Muhammadiyah mengatakan sudah terjadi bulan baru jika ijtima' terjadi sebelum matahari tenggelam dan bulan ada di atas ufuk berapapun tingginya. "Prinsipnya kami terbuka untuk dialog untuk menyamakan kriteria hilal," ujar Agus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement