Oleh: Harun Husein
Baiat berasal dari kata bay yang secara bahasa berarti transaksi atau jual-beli. Bai’at ini dilakukan atas dasar ridha (sukarela) dan pilihan, tanpa paksaan. Dalam bai’at ada ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan).
Prof Dr Azizah al-Hibri, Guru besar hukum pada TC William School of Law, University of Ritchmond, Virginia, AS, menyatakan dalam konteks suksesi politik, bai’at merupakan perbuatan penyerahan dari umat —yang merupakan pemilik kekuasaan — kepada calon pemimpin.
“Bai’at terjadi ketika seorang atau sekelompok individu memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka mendukung suatu asumsi posisi kepemimpinan seseorang dan menyatakan setia kepadanya.”
Dalam praktiknya, bai’at itu terjadi sejak era Nabi Muhammad. Bai’at kepada Nabi ini bukanlah dalam posisinya sebagai Nabi, tapi sebagai pemimpin politik yang melaksanakan hukum Tuhan. Sebab, sebagai seorang Nabi, urusannya lebih pada soal percaya atau tidak percaya.
Tak lama setelah bai’at ini, Nabi kemudian hijrah ke Yastrib, dan men jadi pemimpinnya. Nabi mengganti nama Yatsrib dengan Madinah, yang bermakna peradaban atau negara kota.
Kemudian, membuat sebuah sebuah piagam yang menyebut semua warga Madinah, termasuk Yahudi, sebagai umat yang satu (ummatan wahidah). Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) merupakan konstitusi tertulis pertama di muka bumi.
Menurut para ahli fikih politik (fiqh siyasah), bai’at secara umum terbagi atas dua tahap. Pertama, bai’at in’iqad, yaitu bai’at pemilihan pemim pin/khalifah. Kedua, bai’at taat, yaitu bai’at secara umum yang berisi pernyataan taat dan tunduk ummat kepada sang pemimpin.
Kedua jenis bai’at ini diterapkan dalam pemilihan khalifah rasyidah, yang dalam melaksanakannya terdiri atas tiga model (lihat Tiga Model Pemilihan Khalifah Rasyidun).
Bai’at ini tak harus bulat, tapi bisa pula lonjong. Namun, sepanjang mewakili mayoritas, maka bai’at tersebut dianggap sah.
Seperti pembai’atan Abu Bakar yang tidak dihadiri kelompok Ali (ada yang mengistilahkannya dengan diboikot), juga saat pembai’atan Ali yang tidak disetujui sejumlah sahabat Nabi lainnya, termasuk oleh Muawiyah yang saat itu merupakan Gubernur Syam di Damaskus.
Belakangan, diperkenalkan sebuah istilah baru untuk lembaga yang memilih pemimpin/khalifah, yaitu ahlul halli wal aqdi. Istilah ini antara lain ditulis Al Mawardi dalam karya klasiknya, Al-Ahkam al-Sultaniyah. Mereka ini adalah orang-orang ahli dan representatif.