REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi tujuh persen seperti yang ditargetkan presiden Joko Widodo tidak akan berlangsung cepat. Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan pertumbuhan ekonomi 7 persen mungkin baru akan tercapai tahun 2017 atau 2018.
Jangankan Indonesia, Cina saja cukup sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen. Tony mengatakan pertumbuhan ekonomi tujuh persen mungkin saja diraih asalkan subsidi BBM sebesar Rp 250 triliun dialihkan untuk sektor yang produktif.
Menurutnya, pemerintah bisa membagi alokasi tersebut untuk dua skenario. Pertama, sebanyak Rp 125 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Sebagai gambaran, biaya pembangunan Bandara Kualanamu di Sumatra utara ‘hanya’ memerlukan angaran Rp 5,6 triliun dalam tempo
8 tahun. Rel kereta ganda Jakarta Surabaya sepanjang 727 km hanya memerlukan dana Rp 10,6 triliun.
“Dana subsidnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan mendorong daya dukung untuk penduduk termiskin,” kata Tony, Rabu (12/11).
Sisanya, Rp 125 triliun digunakan untuk bantuan kepada masyarakat. Dia mengatakan idealnya subdisi diberikan bukan dalam bentuk barang, namun kepada masyarakat miskin.
Penduduk termiskin bisa menggunakan definisi masyarakat yang penghasilannya di bawah 1,25 dollar USD per hari. Saat ini di Indonesia jumlahnya mencapai 25 juta penduduk. Namun, diakuinya memang tidak mudah memberikan subdisi dalam jumlah yang langsung besar kepada masyarakat.
Jika subsidi Rp 125 triliun dibagikan kepada masyarakat miskin, masing-masing kepala keluarga bisa mendapatkan Rp 10 juta per orang per tahun atau Rp 800 ribu per keluarga per bulan. Dengan subsidi sebanyak ini menurutnya tidak bisa diberikan langsung karena bisa menimbulkan ‘bahaya’ seperti yang terjadi di Yunani dimana subdisi yang terlalu besar justru meningkatkan angka pengangguran.