Oleh: Saiful Bahri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika ada yang berani tidak sependapat dengan kalimat pada judul di atas, berarti ia tidak yakin dengan takdir Allah SWT. Judul di atas adalah firman Allah SWT.
Dalam surah al-Insyirah (Alam Nasyrah) ayat kelima dan keenam. “Karena, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS al-Insyirah: 5-6).
Kalimat itu diulang sampai dua kali secara berurutan. Memang, tidak ada yang mesti diragukan dari firman Allah SWT. Dalam Alquran (La raiba fih), dengan demikian, jika suatu kalimat diulang sampai dua kali, itu berarti penegasan yang kuat dan sangat meyakinkan.
Dalam realitanya, banyak orang di banyak kesempatan menganggap kesulitan dan kesusahan seakan tak pernah hilang dan sirna. Padahal, jika dipahami dari tekstual ayat di atas, kesulitan akan selalu beriringan dengan kemudahan. Juga, sebaliknya, kemudahan pasti selalu menyertai kesulitan. Dua variabel ini dinilai tidak akan pernah tidak bersama. Karena, secara bahasa dan pemahaman bahwa kemudahan antonim dari kesulitan.
Dalam suatu kondisi sulit yang dihadapi seseorang, sejatinya terdapat kemudahan dalam kesempatan yang sama. Hal itu bisa dipahami dari perenungan sembari selalu mengingat kebesaran dan ketentuan Allah SWT. Bahwa, Gusti Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Jika ternyata kezaliman itu benar-benar wujud, berarti hamba itulah yang menzalimi dirinya sendiri (QS Yunus: 44).
Setiap kesulitan pasti disertai dengan kemudahan. Jika itu diyakini sudah pasti bertemu kemudahan yang dimaksud. Katakanlah, seseorang sedang menghadapi masalah ekonomi alias kesulitan uang. Andai saja ia merenung dan mengingat nikmat Allah SWT, selain uang yang menjadi masalahnya, sudah pasti ia akan terus mengucapkan alhamdulillah di setiap saat sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT yang nikmatnya tidak akan pernah terkira dan terhingga (QS an-Nahl: 18).
Dengan apa ia hidup? Bukankah ia masih bisa bernapas dan bergerak secara dinamis dan teratur disebabkan nikmat Allah SWT yang tak terhingga nilainya jika diuangkan itu?
Maukah ia membandingkan harga segala curahan nikmat itu dengan uang yang dibutuhkan saat ia memerlukan? Sanggupkah ia membayarnya kepada si-Empunya segala nikmat tersebut? Berapakah harganya? Niscaya, ia tidak akan dapat membayarnya!
Bersyukur dan bersabar sudah pasti akan mendatangkan fadilah (keutamaan) dalam hidup dan diyakini sebagai usaha menjemput ridha Allah SWT. Bagaiman nasib kita di dunia dan di akhirat jika Allah SWT tidak ridha dengan kita? Mana yang lebih menjadi masalah jika dibandingkan dengan tidak punya uang?
Itu pun, mungkin hanya sekejap. Karena, pertolongan Allah SWT pasti akan datang. Sekali lagi, Allah SWT sama sekali tidak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Wallahu'alam.