REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah yang ingin mengganti program raskin dengan e-money sangat rentan disalahgunakan sebab belum tentu penggunaannya hanya untuk membeli beras saja. Di samping itu. sasaran pemerintah untuk swasembada padi sulit tercapai akibat tidak adanya kepastian pembelian gabah petani oleh Bulog dengan harga yang stabil.
"Kalau beras raskinnya distop, maka Bulog akan menghentikan pembelian padi sama sekali, tidak ada jamiman beras dibeli,” kata peneliti dari Universitas Andalas (Unand) Jhon Farlis pada Senin (15/12). Jika begitu, praktek tengkulak akan bermunculan karena beras menumpuk di pasar dan tidak ada yang membeli.
Penggantian program menjadi e-money jika terwujud juga akan melemahkan semangat petani menanam padi akibat tidak adanya kepastian harga dan pembelian. Akibatnya, produksi beras nasional akan anjlok dan mengharuskan Indonesia yang notabene negara pertanian harus mengimpor beras dari negara lain yang tentunya akan merusak ketahanan pangan nasional.
Sebaliknya, jika pemerintah tetap mempertahankan program raskin, kata Jhon, rumah tangga penerima raskin tidak harus mencari-cari beras ke pasar karena sudah ada raskin yang berharga relatif sangat murah. Selain itu, otomatis dapat membantu meningkatkan kekurangan energi dan protein, jaminan tampung beras petani, dan tentu saja mengurangi laju inflasi.
Peneliti, lanjut dia, telah menghitung kebutuhan beras medium atau termasuk kategori jenis beras raskin yang totalnya 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang kini sekitar 240 juta. Jika dipenuhi semua, jumlahnya 20,16 juta ton. Sementara jika digratiskan saja, hanya perlu Rp 151,2 trilyun atau lebih kecil dari subsidi BBM.
Dari segi respons masyarakat, Unand mencatat dari 300 responden rumah tangga penerima manfaat raskin, 95 persennya masih berharap program raskin dilanjutkan. Selain itu, sebanyak 85 persen orang miskin yang belum menerima raskin pun menaruh harpan yang sama.