REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu mencatat, penerimaan bea masuk pada kuartal pertama 2025 menurun. Salah satu faktornya disebabkan oleh tidak adanya kegiatan impor beras yang sebelumnya dilakukan oleh Perum Bulog.
"Tahun 2025 ini, kuota itu tidak diberikan lagi. Sehingga kemudian, dari sisi kepabeanan, tidak ada bea masuk dari kegiatan impor beras yang baru di 2025. Itu salah satu penyebabnya," ujar Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Sepanjang Januari-Maret 2025, nilai bea masuk dari komoditas padi dan beras hanya mencapai Rp 51,2 miliar atau turun 92,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, faktor lain yang menekan penerimaan bea masuk adalah kebijakan pembebasan bea masuk terhadap kendaraan bermotor listrik (electric vehicle/EV) guna mendorong transisi energi ramah lingkungan.
"Pemasukan dari kendaraan bermotor, khususnya EV, dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang memberikan insentif bea masuk. Tarif bea masuknya menjadi nol persen, walaupun volumenya tinggi," jelas Askolani.
Kendati terjadi lonjakan impor kendaraan listrik, sambung dia, kebijakan insentif tersebut menyebabkan kontribusinya terhadap penerimaan negara dari bea masuk menjadi menurun. Hal itu jika dibandingkan pada 2024.
Tren penerimaan bea masuk dalam beberapa tahun terakhir, menurut Askolani, ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu volume impor nasional, kebijakan tarif dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA), serta kondisi ekonomi global. "Kebijakan tarif yang kita sepakati secara internasional dalam FTA dan tentunya kondisi dari ekonomi global," ujarnya.
Adapun realisasi penerimaan bea masuk pada 2021 tercatat sebesar Rp 39,1 triliun, meningkat menjadi Rp 51,1 triliun pada 2022, sedikit turun menjadi Rp 50,8 triliun pada 2023. Kemudian, naik kembali menjadi Rp53 triliun pada 2024.