Selasa 23 Dec 2014 15:15 WIB

Ledakan Bom di Stasiun Bus Nigeria Tewaskan 20 Orang

Bom kembali meledak (ilustrasi)
Bom kembali meledak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LAGOS -- Sebuah bom di satu stasiun bus di kota Gombe di timur laut Nigeria menewaskan sedikitnya 20 orang Senin (22/12), kekerasan terbaru di wilayah itu yang berulang kali ditargetkan oleh Boko Haram, kata Palang Merah.

Nigeria dijadwalkan untuk mengadakan pemilihan umum pada 14 Februari, tetapi pertumpahan darah tanpa henti telah mengangkat masalah keamanan menjelang pemilu, dengan beberapa peringatan pemungutan suara yang diperkirakan tidak mungkin dilakukan di sebagian besar wilayah timur laut.

"Ada ledakan di taman motor Dukku. Palang Merah memobilisasi 20 kantong mayat dan mereka semua telah habis," kata Abubakar Yakubu Gombe, sekretaris Palang Merah daerah.

"Kami masih mencari mayat di antara pembantaian," katanya kepada AFP, dan menambahkan bahwa 18 orang lain cedera "serius" telah dibawa ke rumah sakit.

Bom itu ditanam di dekat sebuah bus yang mengisi penumpang, kata Mato Yakubu dari Badan Orientasi Nasional, badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk media.

Ia mengatakan ledakan itu terjadi pada pukul 10.50 waktu setempat di stasiun pinggiran kota Gombe, ibu kota negara bagian Gombe.

Kota ini terkena serangan tiga bom yang dituduhkan pada kelompok Islam pada 31 Oktober.

Negara berbatasan dengan Borno dan Yobe, dua negara terburuk dipengaruhi oleh Boko Haram selama lima tahun pemberontakan yang telah menewaskan lebih dari 13.000 jiwa.

Boko Haram mengklaim sejumlah serangan di stasiun bus, sering menargetkan orang-orang yang menuju ke selatan terutama Kristen Nigeria.

Saksi Awwalu Lame mengatakan massa terbentuk di stasiun lama setelah ledakan berlalu, dengan penduduk setempat melemparkan batu di dinas keamanan.

Kemarahan telah meningkat di seluruh Nigeria utara menyusul keluhan bahwa dinas keamanan telah berulang kali gagal mengatasi kekerasan.

Sementara para ahli setuju bahwa pemboman terisolasi sangat sulit untuk dihentikan, respon militer yang lebih luas terhadap pemberontakan ekstremis telah banyak dikritik.

Presiden Goodluck Jonathan, yang menjalankan masa jabatan kedua, telah di beberapa kesempatan menyatakan bahwa kekalahan Boko Haram itu sudah dekat, tetapi justru kekerasan makin meningkat.

Pemberontakan telah memaksa lebih dari 1,5 juta orang meninggalkan rumah mereka, mengurangi sumber daya di timur laut yang diperangi, karena masyarakat berjuang untuk peduli bagi mereka yang mengungsi.

Menggarisbawahi keparahan krisis, 185 orang, sebagian besar perempuan dan anak, diculik pada 14 Desember dari kota Gumsuri di Borno.

Serangan itu mengingatkan pada penculikan lebih dari 200 siswi dari sekolah di kota Chibok pada April, penculikan massal yang Jonathan bersumpah tidak akan terjadi lagi.

Lawan presiden dalam pemilu Februari, mantan dictator militer Muhammadu Buhari dari utara terutama Muslim, dipandang oleh sebagian orang sebagai lebih baik ditempatkan untuk mengatasi ancaman Bok o Haram, tetapi para ahli mengatakan ia mungkin berjuang untuk menggeser satu jabatan dengan dukungan dari partai kaya yang berkuasa.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement