REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Aksi penembakan berdarah di kantor majalah Charlie Hebdo Rabu pekan lalu dan penyanderaan di sebuah supermarket khusus makanan Yahudi memunculkan tanda tanya mengenai kemampuan badan intelijen Prancis.
Publik bertanya-tanya bagaimana bisa tanda-tanda peringatan luput dari perhatian intelijen. Dilansir dari Al Jazeera, Selasa (13/1), Perdana Menteri Prancis Manuel Valls dalam pernyataan di televisi nasional, Jumat pekan lalu mengatakan intelijen telah gagal.
"Menyerang masjid, gereja atau tempat ibadah dan menodai pemakaman adlaah penodaan terhadap nilai-nilai kita. Islam adalah agama terbesar kedua di Prancis. Semuanya memiliki tempat di Prancis," ujar Valls dalam pernyataan untuk menenangkan kekhawatiran di komunitas Muslim, dikutip dari Washington Post, Selasa.
Peneliti senior dari Royal United Services Institute Shashank Joshi, dikutip dari BBC, Sabtu pekan lalu mengatakan serangan di Paris yang menewaskan 17 orang bukanlah jenis baru terorisme.
Penggunaan senjata, penyanderaan, fokus pada pada waktu ketimbang korban jiwa dan peran yang dimainkan oleh individu dan kelompok yang memiliki jaringan rumit antarnegara telah menjadi pola serangan terorisme selama 50 tahun terakhir. Tantangan terbaru bukanlah memprioritaskan ancaman, tetapi meningkatnya ketidaksesuaian antara jumlah ancaman potensial dan sumber daya yang terbatas.