Senin 19 Jan 2015 09:30 WIB

50 Persen Responden di Prancis Setuju Pembatasan Kebebasan Berekspresi

Rep: C84/ Red: Erik Purnama Putra
Petugas polisi menjaga kantor Charlie Hebdo.
Foto: Reuters
Petugas polisi menjaga kantor Charlie Hebdo.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dalam jajak pendapat kepada 1.003 warga Prancis yang dilakukan Institut Opini Publik Perancis (LFOP), seperti dilaporkan surat kabar Le Figaro, Ahad (18/1), terungkap sekitar 50 persen responden mendukung adanya pembatasan mengenai kebebasan berekspresi di internet dan media sosial di negaranya.

Jajak pendapat yang dilakukan melalui sambungan telepon pada Jumat (16/1) dan Sabtu (17/1) itu melaporkan bahwa 49 persen responden menolak adanya pembatasan kebebasan berkespresi di Perancis sedangkan satu persen sisanya memilih ragu-ragu.

Kebebasan berekspresi tengah menjadi buah bibir di seluruh dunia menyusul insiden serangan kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris awal bulan ini. Penerbitan edisi terbaru majalah satir yang kerap melakukan pelecehan terhadap sejumlah tokoh agama itu mendapat protes keras di berbagai belahan dunia.

Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan, dukungannya kepada majalah yang kembali menayangkan karikatur Nabi Muhammad Saw., itu dengan alasan kebebasan berekspresi. Dalam jajak pendapat tersebut itu juga menyatakan bahwa 81 persen responden mendukung pencabutan kewarganegaraan bagi warga Prancis yang kedapatan melakukan aksi teror.

Sementara itu, 68 persen responden juga menginginkan bahwa setiap warga Prancis yang disinyalir ikut bergabung dengan kelompok ekstremis harus dilarang masuk kembali ke negara tersebut. Sebanyak 68 persen respon juga mengatakan bahwa mereka meminta pemerintah menetapkan larangan bagi warganya mengunjungi wilayah-wilayah yang tengah terlibat pertikaian.

Namun, 57 persen dari responden juga menyampaikan dukungannya kepada pemerintah dalam melakukan intervensi militer di Suriah, Yaman atau Libya, sementara itu, 63 persen responden menyatakan tidak perlunya melakukan operasi militer di Irak, sebagaimana diberitakan Xinhua, Senin (19/1).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement