REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengatakan kebijakan pembatasan ekspor hasil laut, seperti lobster dan kepiting, bertujuan untuk menjaga keberlangsungan budidaya aset laut bagi masa depan. Sebab kedua biota laut tersebut memilik sumbangsih besar terhadap pendapatan negara.
"Kalau terus-menerus dimakan bibitnya, tapi terus dihambat perkembangbiakannya, habislah nanti aset kita, kesinambungan laut pun akan rusak," kata Menteri Susi pada Selasa (20/1).
Ia menjelaskan saat ini kepiting telur sudah banyak diperjualbelikan di pasaran, bahkan digemari. Disebutkannya, lobster kecil dihargai cukup besar dengan nilai Rp 300 ribu per ekor. Sementara lobster besar dibanderol Rp 700 ribu per ekor.
Pembatasan itu ditujukan bagi lobster dan kepiting yang bertelur. Mereka dilarang ditangkap dan diperjualbelikan untuk dikonsumsi. Jangan hanya karena mencari kenikmatan sesaat makan seekor kepiting bertelur, kata Susi, menghambat budidaya kepiting hingga 500 ribu ekor.
"Sebab, sekali bertelur, lobster bisa menghasilkan 500 ribu telur," ucapnya.
Ditanya hitungan kerugian akibat penjualan kepiting dan lobster bertelur, ia tak menyebutkan angka nominal yang pasti. Ia mengungkapkan jika satu ekor lobster dengan berat tiga ons dijual 150 ribu.
Jika ia memiliki telur yang katakanlah jumlahnyalima ribu butir. Jadi jika si lobster bertelur itu dibiarkan hidup dan berkembang biak menimbuhkan lima ribu bayi lobster yang akan tumbuh besar, maka Negara telah rugi hingga Rp 150 juta untuk satu ekor lobster bertelur.
Atas kerugian yang besar tersebut, bagi si pelanggar, Susi menegaskan pelaku harus ditangkap dan didenda paling besar lima juta rupiah. "Dendanya harus besar, kita kerja sama dengan asosiasi," ujarnya.
Pengawasan akan terus ia lakukan di samping budidayanya yang harus digenjot. Lebih lanjut, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saud P Hutagalung mengaku KKP belum memiliki angka pasti akan jumlah kerugian dari merajalelanya perdagangan lobster dan kepiting bertelur.
Namun, pembatasan yang dilakukan Menteri Susi punya alasan kuat, melihat data hasil ekspor dua aset laut tersebut.
"Ekspor lobster selama tiga tahun terakhir dari segi volumenya terus menurun," ucapnya.
Ini menandakan, pasokannya memang tengah sekarat dan memang harus segera dibatasi. Disebutkannya, volume penangkapan dari 2013 ke 2014 turun 33 persen. Besarannya yakni 5150 ton di 2013 turun menjadi 3430 ton di 2014. Nilainya pun turun dari 69,9 juta dolar amerika menjadi 42,8 juta dolar alias turun 38 persen.
Kepiting pun, kata dia, mengalami hal serupa. Hanya saja, untuk kepiting Indonesia masih mengimpor bahan bakunya dari China.
"Kalaupun ekspornya masih naik dari sisi nilai karena kita ada produksi bahan olahan, tapi volumenya terus menurun," katanya.
Sementara, pada 2012 ekspor rajungan dan kepiting 28.200 ton dengan nilai 329,7 juta dolar. Di 2013 volume naik 34.170 ton dengan nilainya 359,3 juta dolar. Penurunan terjadi di 2014 di mana volume turun sebesar 28.090 ton.
Makanya, lanjut dia, lobster sudah jelas semakin jarang jumlahnya sementara konsumen sangat tinggi. Dengan kata lain, pasarnya kuat tapi pasokannya terbatas. Sebab selama ini pemerintah terlalu concern pada budidaya udang, sementara lobster dan rajungan diabaikan. Padahal, ekspor rajungan Indonesia nomor tiga setelah udang dan tuna.
Karenanya, selain menegaskan aturan pelarangan perdagangan lobster dan kepiting hamil, saat ini pemerintah bersama masyarakat laut mesti segera menggenjot budidayanya agar jumlahnya kembali tinggi. namun, ia tak menyebut soal ebsaran anggaran untuk budidaya, sebab ia mengurusi soal perdagangannya.
"Tapi untuk budidaya sudah kita anggarkan," katanya.