REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Kekerasan dan ancaman terhadap wartawan Afghanistan oleh pemerintah dan pasukan keamanan negara meningkat. Human Rights Watch (HRW) mengungkapkan dalam sebuah laporan terbaru.
Statistik HRW menunjukkan 2014 adalah tahun paling keras bagi jurnalis di negara bekas jajahan Uni Soviet. Tingkat serangan untuk wartawan meningkat hingga 64 persen dibandingkan 2013.
Dilansir dari the Guardian, Rabu (22/1), kebebasan media di Afghanistan sudah rapuh dengan intimidasi dan kekerasan negara. Hal ini lalu dikombinasikan dengan kurangnya perlindungan pemerintah dan memudarnya dukungan internasional.
"Para pejabat di Afghanistan, panglima perang, dan pemberontak telah mengancam, menyerang, dan membunuh puluhan wartawan sejak 2002 tanpa takut dituntut secara hukum," kata Wakil Direktur HRW Asia, Phelim Kine.
Kine menambahkan Presiden Ashraf Ghani perlu mengingat kampanyenya yang berjanji melindungi kebebasan media dan keadilan untuk anggota pers. HRW melakukan wawancara pada lebih dari 30 editor, penerbit, wartawan, dan direktur media.
Hasilnya, wartawan yang bekerja di luar kota-kota utama di negara itu sangat rentan terhadap pembalasan karena mereka tidak memiliki perlindungan yang diberikan organisasi media Afghanistan.
Sepanjang 2014, Taliban juga secara eksplisit mengancam media karena media dipandang mendukung nilai-nilai Barat.
Wartawan perempuan menghadapi tantangan sangat berat. Pembatasan sosial dan budaya menghambat mobilitas mereka di daerah perkotaan maupun pedesaan. Ini meningkatkan kerentangan mereka terhadap ancaman dan serangan, termasuk kekerasan seksual.