REPUBLIKA.CO.ID,
Setiap manusia di dunia ini pasti pernah mengalami cobaan dan ujian dari Allah SWT. Ada yang menjalaninya dengan tetap sabar dan ada pula yang sebaliknya.
Anto pun memutuskan untuk tinggal di Pesantren Tunanetra, Raudhatul Makfufin. Dia mengaku, mendapatkan informasi ini dari radio yang selama ini dia dengar. Tanpa banyak berpikir, ia langsung berusaha untuk bisa menjadi bagian dari pesantren itu.
Tiga bulan sudah Anto menjalani hidupnya di pesantren yang berada di Kampung Jati, Buaran, Tangerang Selatan, ini. Dia mengaku, merasa lebih baik semenjak tinggal di sini.
Anto menyatakan dirinya merasa lebih bahagia. Bahkan, dia bisa tertawa lepas dengan kawan-kawan yang senasib dengannya. Dia juga bisa mendapatkan ilmu dari pelajaran, terutama ilmu agama yang dia dapatkan di pesantren ini.
Anto mengaku, sangat bersyukur dengan semua yang telah dia dapatkan di pesantren tunanetra ini. Dia berharap, pesantren ini bisa berkembang pesat.
Sehingga, dia melanjutkan, para penyandang tunanetra lainnya bisa mendapatkan pembinaan dan memperoleh hidup yang lebih baik dengan adanya Pesantren Raudhatul Makfufin.
Menurut Anto, banyak hal yang juga harus menjadi pelajaran dari kehidupan yang telah dia jalani ini. Dia juga berharap, siapa pun yang mengetahui kisahnya ini bisa mengambil hikmahnya.
Ahmad Joni tidak memungkiri karena cacat mata itulah dia bersama penyadang lainnya agak kesulitan untuk bisa mengaji Alquran. Joni mengaku sangat kesulitan jika mengikuti pengajian untuk orang normal.
Dia bersama kawannya tidak bisa mendapatkan kemampuan yang baik dalam memperoleh ilmu agama, terutama kemampuan mengaji. “Kita cuma bisa mendengarkan,” ujar Joni mengenakan kacamata hitam yang menutupi matanya itu, pekan lalu.
Tanggal 26 November 1983 merupakan saat yang tidak terlupakan bagi laki-laki baya ini. Sebab, hari tersebut merupakan saat pertama kalinya majelis taklim yang selama itu dia bina bersama delapan kawannya, termasuk R Halim Saleh, resmi diakui pemerintah.
Majelis taklim yang telah mereka geluti sejak 1980 itu akhirnya berubah menjadi Yayasan Tunanetra Raudlatul Mukfufin dan akhirnya mendirikan Pesantren Raudhatul Makfufin. “Tahun 1983, majelis kami akhirnya bisa berbadan hukum,” ujarnya penuh syukur.