REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf merupakan sumber kemajuan ekonomi umat Islam. Umat Muslim Singapura, misalnya, diketahui mampu memanfaatkan wakaf secara sistematis sehingga aset yang terkumpul bisa mencapai Rp 1 triliun.
Menurut Direktur Eksekutif Badan Wakaf Indonesia (BWI), Achmad Djunaedi, dalam hal ini Indonesia masih menemui sejumlah kendala untuk mengembangkan potensi wakaf secara nasional.
“Di Singapura itu, orang Islam hanya enam persen (dari total penduduk), tapi mereka militan. Di Indonesia, kita masih menemui banyak kendala,” ujar Achmad Djunaedi saat dihubungi Republika, Senin (2/2).
Pertama, kata Achmad, kendala itu berupa dominannya masjid-masjid tua di daerah perkotaan sebagai bangunan hasil wakaf. Masjid-masjid di tengah kota itu banyak yang tidak bisa dikembangkan, agar menjadi misalnya seperti di Singapura.
Di pusat kota Singapura, ada banyak masjid yang memiliki puluhan lantai—biasanya, dua lantai dipakai sebagai ruang ibadah, sedangkan lantai-lantai sisa di atasnya sebagai ruang komersil.
Adapun masjid-masjid tua di perkotaan Indonesia sudah dilabelkan sebagai bangunan cagar budaya sehingga tidak boleh diubah bentuk bangunannya.
“Misalnya, di Jakarta ada SK Gubernur DKI Nomor 475 Tahun 1993 (tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai benda cagar budaya). Aturan ini masih berlaku dan tidak membolehkan masjid di pusat kota diapa-apakan (sebagai bangunan wakaf),” ujar Achmad Djunaedi, Senin (2/2).
Achmad mencontohkan Masjid Hidayatullah di bilangan Sudirman, pusat kota Jakarta. Gedung-gedung bank di sebelah masjid tersebut merupakan bangunan bertingkat dengan aktivitas komersil yang unggul.
Namun, bangunan Masjid Hidayatullah sendiri, kata Achmad, hanya memiliki dua lantai yang sepenuhnya dipakai sebagai ruang ibadah.