REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum lahirnya kongres Umat Islam, 7-8 November 1945, sesungguhnya rintisan untuk bersatu sudah banyak dilakukan. Kongres umat Islam yang diprakarsai PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) pada 1921 menjadi rintisan awal karena dihadiri beragam kalangan mulai dari pesantren hingga tokoh-tokoh umat.
Sejak itu, pertemuan rutin berlangsung dengan melahirkan Muktamar Alam Islami Hindi-Syarqiyah (MAIHS) hingga MIAI (al-Majelisul Islami A'la Indonesia) pada 17-18 September 1937. Kongres-kongres yang diadakan kemudian semakin memperkokoh posisi MIAI sebagai satu-satunya wadah penyampai aspirasi umat Islam Indonesia, termasuk rapat para pemuka Islam pada 5 September 1942 yang mengakui MIAI adalah 'Pusat Pimpinan Persatuan Umat Islam Indonesia.'
Tokoh yang paling banyak mengambil peran saat itu antara lain KH Abdul Wahab (NU), KH Mas Mansyur, KH A Dahlan (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (PSII).
Ketika Jepang datang, MIAI berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin). Kendati diarahkan untuk menjadi alat menarik simpati umat bagi kepentingan Jepang, namun Masyumi justru bergerak sebaliknya, menjadi penyalur aspirasi rakyat. Karena itu, beberapa bulan setelah kemerdekaan, Masyumi pun segera menyatukan umat dalam menyalurkan kepentingan politiknya.
Ini tecermin dari hasil Kongres Umat Islam di Yogyakarta, 7-8 November 1945 menyepakati Partai Politik Masyumi sebagai satu-satunya wadah penyaluran aspirasi politik umat Islam Indonesia. Kendati demikian, kehadirannya sebagai parpol tidak menjadikan Masyumi penghalang bagi aktivitas sosial ormas-ormas yang sudah ada.
Namun, setelah kongres umat Islam terakhir pada 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta, tak ada lagi pertemuan tokoh-tokoh umat Islam dalam wadah formal. Pasalnya, kepentingan politik masing-masing pribadi dan golongan menjadi dominan sehingga banyak ormas Islam pendukung Masyumi melepaskan diri dan membentuk parpol sendiri. Kasus yang paling mencolok adalah ketika NU lepas dari Masyumi pada 1952.