REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Yaman semakin tak aman. Kekerasan melonjak tajam dalam beberapa hari terakhir. Aksi demonstrasi puluhan ribu warga Yaman yang memprotes pengambilalihan kekuasaan oleh Kelompok Syiah Houthi pada Sabtu (14/2) dibalas dengan tembakan oleh kelompok Houthi yang melukai empat orang demonstran.
Ketegangan tak hanya berpusat di Ibu Kota Yaman, Sanaa, setelah aksi baku tembak terjadi di Selatan Yaman, tepatnya di Provinsi pegunungan al-Bayda, antara Houthi dengan suku Sunni, yang didukung oleh sejumlah kelompok seperti al-Qaida.
Pejabat keamanan melaporkan sedikitnya 26 orang tewas akibat pertempuran tersebut dimana 16 orang merupakan anggota dari Houthi sementara sisanya datang dari kubu suku Sunni.
Terus memanasnya situasi di negara yang bersebelahan dengan Arab Saudi itu membuat sejumlah negara mengambil tindakan untuk menutup Kedubesnya. Setelah negara-negara seperti Jerman, Italia, Perancis, Inggris, Belanda, Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi telah menarik duta besarnya dari Yaman, kali ini giliran Uni Emirat Arab (UEA) yang juga melakukan langkah serupa pada Sabtu (14/2).
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) UEA menyatakan keputusan ini diambil menyusul memburuknya situasi politik dan keamanan di negara tersebut.
Menanggapi aksi sepihak Houthi yang telah membubarkan parlemen dan membentuk pemerintahan sendiri negara-negara kawasan Teluk yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC), pada Sabtu, mendesak PBB untuk bertindak tegas dalam kondisi yang terjadi di Yaman.
Bahkan, para Menteri Luar Negeri negara-negara anggota GCC memberi masukan jika memang diperlukan, PBB dinilai dapat melakukan intervensi militer di negara tersebut.